Archive for Februari, 2011

Ash-Shabru dhiya’ (Sabar itu Cahaya)

 

 

Judul Asli : KEUTAMAAN SABAR MENGHADAPI COBAAN

 

 

 

Oleh: Majdi As-Sayyid Ibrahim

 

KEUTAMAAN SABAR MENGHADAPI COBAAN

“Artinya : Dari Ummu Al-Ala’, dia berkata :”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku tatkala aku sedang sakit, lalu beliau berkata. ‘Gembirakanlah wahai Ummu Al-Ala’. Sesungguhnya sakitnya orang Muslim itu membuat Allah menghilangkan kesalahan-kesalahan, sebagaimana api yang menghilangkan kotoran emas dan perak”. (Isnadnya Shahih, ditakhrij Abu Daud, hadits nomor 3092).

 

 

Wahai Ukhti Mukminah…

 

Sudah barang tentu engkau akan menghadapi cobaan di dalam kehidupan dunia ini. Boleh jadi cobaan itu menimpa langsung pada dirimu atau suamimu atau anakmu ataupun anggota keluarga yang lain. Tetapi justru disitulah akan tampak kadar imanmu. Allah menurunkan cobaan kepadamu, agar Dia bisa menguji imanmu, apakah engkau akan sabar ataukah engkau akan marah-marah, dan adakah engkau ridha terhadap takdir Allah ?

 

Wasiat yang ada dihadapanmu ini disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala menasihati Ummu Al-Ala’ Radhiyallahu anha, seraya menjelaskan kepadanya bahwa orang mukmin itu diuji Rabb-nya agar Dia bisa menghapus kesalahan dan dosa-dosanya.

 

Selagi engkau memperhatikan kandungan Kitab Allah, tentu engkau akan mendapatkan bahwa yang bisa mengambil manfaat dari ayat-ayat dan mengambil nasihat darinya adalah orang-orang yang sabar, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

 

“Artinya : Dan, di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung. Jikalau Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan) -Nya bagi setiap orang yang bersabar dan banyak bersyukur”.

(Asy-Syura : 32-33)

 

 

Engkau juga akan mendapatkan bahwa Allah memuji orang-orang yang sabar dan menyanjung mereka.

 

Firman ALLAH Ta’ala :

 

“Artinya : Dan, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”.

(Al-Baqarah : 177)

 

“Artinya : Dan, Allah mencintai orang-orang yang sabar”. (Ali Imran : 146)

 

 

Engkau juga akan mendapatkan bahwa Allah memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan balasan yang lebih baik daripada amalnya dan melipat gandakannya tanpa terhitung. Firman-Nya.

 

“Artinya : Dan, sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan”. (An-Nahl : 96)

 

“Artinya : Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (Az-Zumar : 10)

 

 

Bahkan engkau akan mengetahui bahwa keberuntungan pada hari kiamat dan keselamatan dari neraka akan menjadi milik orang-orang yang sabar.

 

“Artinya: Sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan) : Salamun ‘alaikum bima shabartum’. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”

(Ar-Ra’d : 23-24)

 

 

 

 

 

 

Benar …

 

Semua ini merupakan balasan bagi orang-orang yang sabar dalam menghadapi cobaan.

Lalu kenapa tidak  ? Sedangkan orang mukmin selalu dalam keadaan yang baik ?

 

Dari Shuhaib radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Apabila mendapat kelapangan, maka dia bersyukur dan itu kebaikan baginya. Dan, bila ditimpa kesempitan, maka dia bersabar, dan itu kebaikan baginya”.

(Ditakhrij Muslim, 8/125 dalam Az-Zuhud)

 

Engkau harus tahu bahwa Allah mengujimu menurut bobot iman yang engkau miliki. Apabila bobot imanmu berat, Allah akan memberikan cobaan yang lebih keras. Apabila ada kelemahan dalam agamamu, maka cobaan yang diberikan kepadamu juga lebih ringan. Perhatikalah riwayat ini.

 

 

“Artinya : Dari Sa’id bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, dia berkata. ‘Aku pernah bertanya : Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling keras cobaannya ? Beliau menjawab. Para nabi, kemudian orang pilihan dan orang pilihan lagi. Maka seseorang akan diuji menurut agamanya. Apabila agamanya merupakan (agama) yang kuat, maka cobaannya  juga berat. Dan, apabila di dalam agamanya ada kelemahan, maka dia akan diuji menurut agamanya. Tidaklah cobaan menyusahkan seorang hamba sehingga ia meninggalkannya berjalan di atas bumi dan tidak ada satu kesalahan pun pada dirinya”.

[Isnadnya shahih, ditakhrij At-Tirmidzy, hadits nomor 1509, Ibnu Majah, hadits nomor 4023, Ad-Darimy 2/320, Ahmad 1/172]

 

“Artinya : Dari Abu Sa’id Al-Khudry Radhiyallahu anhu, dia berkata. ‘Aku memasuki tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau sedang demam. Lalu kuletakkan tanganku di badan beliau. Maka aku merasakan panas ditanganku di atas selimut. Lalu aku berkata.’Wahai Rasulullah, alangkah kerasnya sakit ini pada dirimi’. Beliau berkata :’Begitulah kami (para nabi). Cobaan dilipatkan kepada kami dan pahala juga ditingkatkan bagi kami’. Aku bertanya.’Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya ?. Beliau menjawab.’Para nabi. Aku bertanya.’Wahai Rasulullah, kemudian siapa lagi?. Beliau menjawab.’Kemudian orang-orang shalih. Apabila salah seorang di antara mereka diuji dengan kemiskinan, sampai-sampai salah seorang diantara mereka tidak mendapatkan kecuali (tambalan) mantel yang dia himpun. Dan, apabila salah seorang diantara mereka sungguh merasa senang karena cobaan, sebagaimana salah seorang diantara kamu yang senang karena kemewahan”.

[Ditakhrij Ibnu Majah, hadits nomor 4024, Al-Hakim 4/307, di shahihkan Adz-Dzahaby]

 

 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

 

“Artinya : Cobaan tetap akan menimpa atas diri orang mukmin dan mukminah, anak dan juga hartanya, sehingga dia bersua Allah dan pada dirinya tidak ada lagi satu kesalahanpun”.

[Isnadnya Hasan, ditakhrij At-Tirmidzy, hadits nomor 2510. Dia menyatakan, ini hadits hasan shahih, Ahmad 2/287, Al-Hakim 1/346, dishahihkan Adz-Dzahaby]

 

 

Selagi engkau bertanya: ”Mengapa orang mukmin tidak menjadi terbebas karena keutamaannya di sisi Rabb.?”

 

Jawabnya :”Sebab Rabb kita hendak membersihan orang Mukmin dari segala maksiat dan dosa-dosanya.

Kebaikan-kebaikannya tidak akan tercipta kecuali dengan  cara ini. Maka Dia mengujinya sehingga dapat membersihkannya.

 

Inilah yang diterangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ummul ‘Ala dan Abdullah bin Mas’ud.Abdullah bin Mas’ud pernah berkata.”Aku memasuki tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang demam, lalu aku berkata.’Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sungguh menderita demam yang sangat keras’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata.”Benar. Sesungguhnya aku demam layaknya dua orang diantara kamu yang sedang demam”.

Abdullah bin Mas’ud berkata.”Dengan begitu berarti ada dua pahala bagi engkau ?”

Beliau menjawab. “Benar”. Kemudian beliau berkata.”Tidaklah seorang muslim menderita sakit karena suatu penyakit dan juga lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya dengan penyakit itu, sebagaimana pohon yang menggugurkan daun-daunnya”.

(Ditakhrij Al-Bukhari, 7/149. Muslim 16/127)

 

Dari Abi Sa’id Al-Khudry dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhuma, keduanya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

 

“Artinya : Tidaklah seorang Mukmin ditimpa sakit, letih, demam, sedih hingga kekhawatiran yang mengusiknya, melainkan Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya”.

(Ditakhrij Al-Bukhari 7/148-149, Muslim 16/130)

 

 

 

 

 

 

Sabar menghadapi sakit, menguasai diri karena kekhawatiran dan emosi, menahan lidahnya agar tidak mengeluh, merupakan bekal bagi orang mukmin dalam perjalanan hidupnya di dunia. Maka dari itu sabar termasuk dari sebagian iman, sama seperti kedudukan kepala bagi badan. Tidak ada iman bagi orang yang tidak sabar, sebagaimana badan yang tidak ada artinya tanpa kepala. Maka Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata. “Kehidupan yang paling baik ialah apabila kita mengetahuinya dengan berbekal kesabaran”. Maka andaikata engkau mengetahui tentang pahala dan berbagai cobaan yang telah dijanjikan Allah bagimu, tentu engkau bisa bersabar dalam menghadapi sakit. Perhatikanlah riwayat berikut ini:

“Artinya : Dari Atha’ bin Abu Rabbah, dia berkata. “Ibnu Abbas pernah berkata kepadaku.‘Maukah kutunjukkan kepadamu  seorang wanita penghuni surga ? Aku menjawab. ‘Ya’. Dia (Ibnu Abbas) berkata: “Wanita berkulit hitam itu pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata.’Sesungguhnya aku sakit ayan dan (auratku) terbuka. Maka berdoalah bagi diriku. Beliau berkata.’Apabila engkau menghendaki, maka engkau bisa bersabar dan bagimu adalah surga. Dan, apabila engkau menghendaki bisa berdo’a sendiri kepada Allah hingga Dia memberimu afiat’. Lalu wanita itu berkata. ‘Aku akan bersabar. Wanita itu berkata lagi. ‘Sesungguhnya (auratku) terbuka. Maka berdo’alah kepada Allah bagi diriku agar (auratku) tidak terbuka’. Maka beliau pun berdoa bagi wanita tersebut”. (Ditakhrij Al-Bukhari 7/150. Muslim 16/131)

 

Perhatikanlah, ternyata wanita itu memilih untuk bersabar menghadapi penyakitnya dan dia pun masuk surga. Begitulah yang mestinya engkau ketahui, bahwa sabar menghadapi cobaan dunia akan mewariskan surga. Diantara jenis kesabaran menghadapi cobaan ialah kesabaran wanita muslimah karena diuji kebutaan oleh Rabb-nya. Disini pahalanya jauh lebih besar.

 

Dari Anas bin Malik, dia berkata.”Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

“Artinya : Sesungguhnya Allah berfirman.’Apabila Aku menguji hamba-Ku (dengan kebutaan) pada kedua matanya lalu dia bersabar, maka Aku akan mengganti kedua matanya itu dengan surga”.

 

(Ditakhrij Al-Bukhari 7/151 dalam Ath-Thibb. Menurut Al-Hafidz di dalam Al-Fath, yang dimaksud habibatain adalah dua hal yang dicintai. Sebab itu kedua mata merupakan anggota badan manusia yang paling dicintai. Sebab dengan tidak adanya kedua mata, penglihatannya menjadi hilang, sehingga dia tidak dapat melihat kebaikan sehingga membuatnya senang. dan tidak dapat melihat keburukan sehingga dia bisa menghindarinya).

 

 

Maka engkau harus mampu menahan diri tatkala sakit dan menyembunyikan cobaan yang menimpamu. Al-Fudhail bin Iyadh pernah mendengar seseorang mengadukan cobaan yang menimpanya. Maka dia berkata kepadanya.”Bagaimana mungkin engkau mengadukan yang merahmatimu kepada orang yang tidak memberikan rahmat kepadamu?”

 

Sebagian orang Salaf yang shalih berkata :”Barangsiapa yang mengadukan musibah yang menimpanya, seakan-akan dia mengadukan Rabb-nya”.

Yang dimaksud mengadukan di sini bukan membeberkan penyakit kepada dokter yang mengobatinya. Tetapi pengaduan itu merupakan gambaran penyesalan dan penderitaan karena mendapat cobaan dari Allah, yang dilontarkan kepada orang yang tidak mampu mengobati, seperti kepada teman atau tetangga.

 

Orang-orang Salaf yang shalih dari umat kita pernah berkata. “Empat hal termasuk simpanan surga, yaitu menyembunyikan musibah, menyembunyikan (merahasiakan) shadaqah, menyembunyikan kelebihan dan menyembunyikan sakit”.

Ukhti Muslimah !

 

Selanjutnya perhatikan perkataan Ibnu Abdi Rabbah Al-Andalusy : “Asy-Syaibany pernah berkata.’Temanku pernah memberitahukan kepadaku seraya berkata.’Syuraih mendengar tatkala aku mengeluhkan kesedihanku kepada seorang teman. Maka dia memegang tanganku seraya berkata.’Wahai anak saudaraku, janganlah engkau mengeluh kepada selain Allah. Karena orang yang engkau keluhi itu tidak lepas dari kedudukannya sebagai teman atau lawan. Kalau dia seorang teman, berarti engkau berduka dan tidak bisa memberimu manfaat. Kalau dia seorang lawan, maka dia akan bergembira karena deritamu. Lihatlah salah satu mataku ini,’sambil menunjuk ke arah matanya’, demi Allah, dengan mata ini aku tidak pernah bisa melihat seorangpun, tidak pula teman sejak lima tahun yang lalu. Namun aku tidak pernah memberitahukannya kepada seseorang hingga detik ini.

 

Tidakkah engkau mendengar perkataan seorang hamba yang shalih (Yusuf) :”Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku”. Maka jadikanlah Allah sebagai tempatmu mengadu tatkala ada musibah yang menimpamu. Sesungguhnya Dia adalah penanggung jawab yang paling mulia dan yang paling dekat untuk dimintai do’a”. (Al-Aqdud-Farid, 2/282)

 

Abud-Darda’ Radhiyallahu anhu berkata. “Apabila Allah telah menetapkan suatu takdir,maka yang paling dicintai-Nya adalah meridhai takdir-Nya”. (em>Az-Zuhd, Ibnul Mubarak, hal. 125)

 

Perbaharuilah imanmu dengan lafazh la ilaha illallah dan carilah pahala di sisi Allah karena cobaan yang menimpamu. Janganlah sekali-kali engkau katakan :”Andaikan saja hal ini tidak terjadi”, tatkala menghadapi takdir Allah. Sesungguhnya  tiada ada taufik kecuali dari sisi Allah.

 

 

 

 

 

 

 

————–

http://abuzubair.wordpress.com/

 

Aurat Wanita di Depan Mahramnya (Bagian 2)

Penjelasan Khusus Tentang Batasan Aurat Wanita yang Boleh Tampak di Depan Mahram

  1. Batasan aurat wanita di depan suami. Allah ta’ala memulai firman-Nya dalam surat an-Nuur ayat 31 tentang bolehnya wanita menampakkan perhiasannya adalah kepada suami. Sebagaimana telah diketahui bahwa suami adalah mahram wanita yang terjadi akibat mushaharah (ikatan pernikahan). Dan suami boleh melihat dan menikmati seluruh anggota tubuh istrinya.Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan surat an-Nuur ayat 31, “Adapun suami, maka semua ini (bolehnya menampakkan perhiasan dan perintah menundukkan pandangan dari orang lain) memang diperuntukkan baginya (yakni suami). Maka seorang istri boleh melakukan sesuatu untuk suaminya, yang tidak boleh dilakukannya di hadapan orang lain.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]Allahta’ala berfirman dalam kitab-Nya,وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُو جِهِمْ حَفِظُونَ ۝ إِلاَّ عَلَى أَزْوَجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُمَلُومِينَ ۝

    “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.” (Qs. Al-Ma’arij: 29-30)

    Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang suami dihalalkan untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar memandangi perhiasan istrinya, yaitu menyentuh dan mendatangi istrinya. Jika seorang suami dihalalkan untuk menikmati perhiasan dan keindahan istrinya, maka apalagi hanya sekedar melihat dan menyentuh tubuh istrinya. [Lihat al-Mabsuuth (X/148) dan al-Muhalla (X/33)]

    ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku mandi bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana yang berada di antara aku dan beliau sambil tangan kami berebutan di dalamnya. Beliau mendahuluiku sehingga aku mengatakan, ‘Sisakan untukku, sisakan untukku!’ ‘Aisyah mengatakan bahwa keduanya dalam keadaan junub.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 250) dan Muslim (no. 46)]

    Ibnu ‘Urwah al Hanbali rahimahullah berkata dalam mengomentari hadits di atas, “Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk memandang seluruh tubuh pasangannya dan menyentuhnya hingga farji’ (kemaluan), berdasarkan hadits ini. Karena farji’ istrinya adalah halal baginya untuk dinikmati, maka dibolehkan pula baginya untuk memandang dan menjamahnya seperti anggota tubuhnya yang lain.” [Lihat Aadaabuz Zifaaf (hal. 111), al-Kawaakib (579/29/1), dan Panduan Lengkap Nikah (hal. 298)]

    Jadi, tidak ada batasan bagi seorang suami untuk melihat keseluruhan aurat istrinya, termasuk kemaluannya.

  2. Batasan aurat wanita di depan wanita lainnya. Aurat seorang wanita yang wajib ditutupi di depan kaum wanita lainnya, sama dengan aurat lelaki di depan kaum lelaki lainnya, yaitu daerah antara pusar hingga lutut. [Lihat al-Mughni (VI/562)]. Ibnul Jauzi berkata dalam kitabnya Ahkaamun Nisaa’ (hal. 76), “Wanita-wanita jahil (yang tidak mengerti) pada umumnya tidak merasa sungkan untuk membuka aurat atau sebagiannya, padahal di hadapannya ada ibunya atau saudara perempuannya atau putrinya, dan ia (wanita itu) berkata, “Mereka adalah kerabat (keluarga).’ Maka hendaklah wanita itu mengetahui bahwa jika ia telah mencapai usia tujuh tahun (tamyiz), karena itu, ibunya, saudarinya, ataupun putri saudarinya tidak boleh melihat auratnya.”Nabi shallallahu “alaihi wa sallam pernah bersabda,يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي الثَّوْبِ الْوَا حِدِ، وَلاَ تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةَ فِي الثَّوْبِ الْوَحِدِ .
    و في روية : وَلاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عُـرْيَةِ الرَّجُلِ، وَلاَ تَنْظُرُ الْمَرْأَةُ إِلَى عُـرْيَةِ الْمَرْأَةِ .

    “Janganlah seorang lelaki melihat aurat lelaki (lainnya), dan janganlah pula seorang wanita melihat aurat wanita (lainnya). Seorang pria tidak boleh bersama pria lain dalam satu kain, dan tidak boleh pula seorang wanita bersama wanita lainnya dalam satu kain.”

    Dalam riwayat lain disebutkan,

    “Tidak boleh seseorang pria melihat aurat pria lainnya, dan tidak boleh seorang wanita melihat aurat wanita lainnya” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 338), Abu Dawud (no. 3392 dan 4018), Tirmidzi (no. 2793), Ahmad (no. 11207) dan Ibnu Majah (no. 661), dari Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu “anhu]

    Makna “uryah ( عـرية) (aurat) pada hadits di atas adalah tidak memakai pakaian (telanjang). [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal. 100)]

    Adapun mengenai batasan aurat seorang wanita muslimah di depan wanita kafir, maka sebagian ulama berpendapat bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada selain muslimah, karena lafazh أو نسآئهنyang tercantum dalam surat an-Nuur ayat 31 adalah dimaksudkan kepada wanita-wanita muslimah. Oleh karena itu, wanita-wanita dari kaum kuffar tidak termasuk ke dalam ayat tersebut, sehingga wanita muslimah tetap wajib untuk berhijab dari mereka. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284), Tafsir al-Qurthubi (no. 4625), Fat-hul Qaadir (IV/22) dan Jilbab Wanita Muslimah (hal. 118-119)]

    Ada juga ulama yang berpendapat bahwa lafazh أو نسآئهن bermakna wanita secara umum, baik dia seorang muslimah ataupun seorang wanita kafir. Dan kewajiban berhijab hanyalah diperuntukkan bagi kaum lelaki yang bukan mahram, sehingga tidak ada alasan untuk menetapkan kewajiban hijab di antara wanita muslimah dan wanita kafir. [Lihat Jaami’ Ahkaamin Nisaa’ (IV/498), Durus wa Fataawaa al-Haram al-Makki(III/264) dan Fataawaa al-Mar’ah (I/73)]

    Namun, pendapat yang paling mendekati kebenaran dan keselamatan -insya Allah- adalah pendapat pertama, karena pada awal ayat tersebut (Qs. An-Nuur: 31), Allahta’ala memulai perintah hijab dengan lafazh وقل للمؤمنت yang artinya, “Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminah…“. Maka lafazh selanjutnya, yaitu أو نسآئهن lebih dekat maknanya kepada wanita-wanita dari kalangan kaum muslimin. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]

  3. Batasan aurat wanita di depan para budak. Di dalam ayat di atas, disebutkan أو ما ملكت أيمنهن atau budak-budak yang mereka miliki…”, di mana maksud ayat ini mencakup budak laki-laki maupun wanita. [Lihat al-Mabsuuth (X/157]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa seorang budak boleh melihat majikan wanitanya (dalam hal ini maksudnya adalah bertatap muka) karena kebutuhan. [Lihat Majmuu’ al-Fataawaa (XVI/141)]Jadi seorang budak diperbolehkan melihat aurat majikan wanitanya sebatas yang biasa nampak, dan tidak lebih dari itu.
  4. Batasan aurat wanita di depan orang yang tidak memiliki hasrat (syahwat) terhadap wanita. Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan lafazh أوِ التبعين غير أولى الإربة من الرجال, , “Maknanya adalah para pelayan dan pembantu yang tidak sepadan, sementara dalam akal mereka terdapat kelemahan.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]. Maksudnya adalah orang-orang tersebut tidak memiliki hasrat terhadap wanita disebabkan usianya yang sudah lanjut, kelainan seksual (banci), atau menderita penyakit seksual (impoten/lemah syahwat). [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/165)]. Jika melihat realita pada zaman sekarang ini, orang-orang tersebut memang tidak akan berhasrat kepada wanita, namun mereka memiliki kecenderungan untuk menceritakan keadaan kaum wanita kepada orang lain yang memiliki hasrat kepada wanita, sehingga dikhawatirkan akan timbul fitnah secara tidak langsung. Oleh karena itu, hendaklah para wanita tidak membuka aurat mereka, kecuali yang biasa nampak darinya.
  5. Batasan aurat wanita di depan anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanitaMaksud lafazh أو الطـفـل الذين لم يظهروا على عورت النسآء adalah anak yang masih kecil dan tidak mengerti tentang keadaan kaum wanita dan aurat mereka. Anak yang belum memahami aurat, tidak mengapa bila dia masuk ke ruangan wanita. Adapun jika anak tersebut telah memasuki masa pubertas atau mendekatinya, di mana dia mulai mengerti tentang semua itu, dan dapat membedakan antara wanita yang cantik dan yang tidak cantik, maka dia tidak boleh lagi masuk ke dalam ruangan wanita. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]

Catatan Penting

Berikut ini adalah beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dalam hal batasan aurat seorang wanita yang boleh ditampakkan di depan para mahram, yaitu:

  1. Seorang mahram, kecuali suami wanita tersebut, boleh melihat perhiasan seorang wanita -berdasarkan pada penjelasan terdahulu- dengan syarat bukan dalam keadaan menikmatinya dan disertai dengan syahwat. Jika hal itu terjadi, maka tidak syak (ragu) dan tidak ada khilaf (perselisihan) dalam masalah ini bahwa hal ituterlarang hukumnya. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]
  2. Seorang wanita boleh menanggalkan pakaiannya jika dia merasa aman dari kemungkinan adanya orang-orang asing yang dapat melihatnya dan ditempat orang-orang yang terpercaya (khusus yang menjadi mahramnya), di mana orang-orang tersebut mengetahui ketentuan-ketentuan Allah sehingga mereka menjaga kehormatan dan kesucian seorang muslimah. [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal. 103) dan tambahan penjelasan secara khusus dalam Syarah al-Arba’un al-Uswah (no. 26)]
  3. Dan hendaknya seorang wanita tetap memelihara hijabnya dan menjaga auratnyakecuali yang biasa nampak darinya, di depan seluruh mahramnya -kecuali suami-, agarmuru’ah (kehormatan) dan “iffah (kesucian diri) dapat senantiasa terjaga.

Seorang wanita muslimah harus senantiasa memperhatikan hal-hal yang dapat menjerumuskannya ke dalam lembah kemaksiatan. Dia diharuskan untuk menjaga dirinya dari fitnah yang dilancarkan setan dari berbagai penjuru. Untuk itu, rasa malu lebih wajib untuk dimiliki oleh kaum wanita, sehingga dengannya seorang wanita muslimah dapat menjadi uswah (teladan) bagi saudarinya yang lain dalam berakhlaqul karimah.

Wallahu a’lam wal musta’an.

***
artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Maraji’:

  • Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir
  • Fataawaa an-Nisaa’ (Edisi Terjemah), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ta’liq: Muhammad Muhammad Amir, cet. Ailah
  • Fat-hul Baari bi Syarh Shahiih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani, cet. Daar al-Hadits
  • Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq
  • Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Pustaka at-Tibyan
  • Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir
  • Syarah al-Arba’uun al-Uswah Min al-Ahaadiits al-Waaridah fii an-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan

 

Aurat Wanita di Depan Mahramnya (Bagian 1)

Aurat adalah kemaluan dan semua hal yang dapat menimbulkan rasa malu apabila terlihat. Aurat merupakan perhiasan yang wajib ditutupi dari orang-orang yang tidak berhak untuk melihatnya dan atau menikmatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan kepada kita bahwa,

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، وَبِأَنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِـهَا اسْتَشْـرَ فَهَا الشَّيْـطَانُ

“Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya.”(Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi no. 1173, Ibnu Khuzaimah III/95 dan ath-Thabrani dalamMu’jamul Kabiir no. 10115, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma)

Imam al-Mubarakfuri rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits di atas, “Dijadikan diri wanita sebagai aurat karena jika wanita muncul maka ia akan merasa malu, sebagaimana ia merasa malu melihat aurat manakala terbuka. Sehingga dikatakan bahwa maknanya wanita itu memiliki aurat.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi III/237 dan Syarah al-Arba’un al-Uswah no. 32)

Karena itu, kita sebagai kaum wanita haruslah menaruh perhatian yang besar terhadap masalah ini. Hanya saja, Allah ta’ala telah memberikan pengecualian mengenai larangan menampakkan aurat kepada beberapa orang yang menjadi mahram kita. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

وَلاَ يُبْـدِيْنَ زِيْنَتَـهُـنَّ إِلاَّ لِبُعُو لَتِهِنَّ أَو ءَابَآ ئِهِنَّ أَو ءَابَآءِ بُعُو لَتِهِنَّ أَو أَبْنَآئِهِنَّ أَو أَبْنَآءِ بُعُو لَتِهِنَّ أَو إِخْوَنِهِنَّ أَو بَنِى إِخْوِنِهِنَّ أَو بَنِى أَخَوَتِهِنَّ أَو نِسَآئِهِنَّ أَو مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُهُنَّ أَوِ التَّبِعِيْنَ غَيْرِ أُولِى الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَو الطِّـفْـلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلَى عَوْرَتِ النِّسَآءِ ۖ

“… dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” (Qs. An-Nuur: 31)

Kita telah memahami maksud larangan menampakkan perhiasan wanita di depan yang bukan mahramnya, lalu bagaimana maksud dan aplikasi pengecualian ini terhadap orang-orang yang menjadi mahram kita? Adakah batasan aurat yang boleh ditampakkan di depan mahram?

Batasan Aurat (Perhiasan) Wanita yang Boleh Tampak di Depan Mahram

Dari artikel sebelumnya, (Lihatlah Siapa Mahrammu 1, Lihatlah Siapa Mahrammu 2) kita telah mengetahui siapa saja yang termasuk mahram, dan siapa yang tidak termasuk mahram. Dalam surat an-Nuur ayat 31, Allah ta’ala membolehkan mahram melihat bagian-bagian dari perhiasan seorang wanita yang tidak boleh ditampakkan pada laki-laki yang bukan mahram. Hal ini dikarenakan keadaan darurat yang mendorong terjadinya percampur-bauran di antara mereka mengingat adanya hubungan kekerabatan dan amannya mereka (para mahram) dari fitnah. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/157)]

Secara garis besar, ada dua pendapat ulama yang masyhur (populer) tentang batasan yang boleh dilihat oleh mahram, yaitu:

Pendapat pertama: Mahram boleh melihat seluruh tubuh wanita, kecuali bagian di antara pusar dan lutut, dan inilah pendapat kebanyakan ulama. [Lihat al-Mabsuuth (X/149), al-Majmuu’ Fataawaa Ibn Taimiyah (XVI/140), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/158)]

Pendapat tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِذَا أَنْكَحَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَو أَجِيرَهُ فَلاَ يَنْظُرَنَّ إِلَى شَيْءٍ مِنْ عَورَتِهِ، فَإِنَّ مَا أَسْفَلَ مِنْ سُرَّتِهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ مِنْ عَوْرَتِهِ .

“Jika salah seorang di antara kalian menikahkan hamba sahaya atau pembantunya, maka jangan sekali-kali ia melihat sedikit pun dari auratnya. Karena apa yang ada di bawah pusar hingga lutut adalah aurat.” [Hadits hasan. Riwayat Ahmad (II/187) dan Abu Dawud (no. 495)]

Meskipun jika dilihat dari matan (redaksi) nya, hadits tersebut ditujukan kepada kaum lelaki, namun hadits tersebut berlaku juga bagi kaum wanita karena kaum wanita adalah saudara sekandung/belahan bagi kaum lelaki. Wanita belahan laki-laki maksudnya adalah masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam syariat, termasuk diantaranya adalah batasan aurat, menurut pendapat dia atas.

Diriwayatkan pula dari Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu,

ذَخَلْتُ أَنَا وَأَخُو عَائِشَةَ عَلَى عَائِشَةَ فَسَأَلَهَا أَخُوهَا عَنْ غُسْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَدَعَتْ بِإِنَاءٍ نَحْوًا مِنْ صَاعٍ فَاغْتَسَلَتْ وَأَفَاضَتْ عَلَى رَأْ سِهَا وَبَيْنَنَا وَبَيْنَهَا حِجَابٌ .

“Aku dan saudara ‘Aisyah datang kepada ‘Aisyah, lalu saudaranya itu bertanya kepadanya tentang mandi yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas ‘Aisyah meminta wadah yang berisi satu sha’ (air), kemudian ia mandi dan mengucurkan air di atas kepalanya. Sementara antara kami dan beliau ada tabir.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 251) dan Muslim (no. 320)]

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Yang nampak dari hadits tersebut adalah bahwa keduanya (yakni Abu Salamah dan saudara ‘Aisyah) melihat apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah pada kepala dan bagian atas tubuhnya, dimana itu adalah bagian yang boleh dilihat oleh seorang mahram, dan ‘Aisyah adalah bibinya Abu Salamah karena persusuan, sementara ‘Aisyah meletakkan tabir untuk menutupi bagian bawah tubuhnya, karena bagian tersebut adalah bagian yang tidak boleh dilihat oleh mahram.” [Lihat Fat-hul Baari(I/465)]

Sehingga, kesimpulan dari pendapat pertama adalah mahram boleh melihat seluruh tubuh wanita, kecuali bagian antara pusar hingga lutut.

Pendapat kedua: Seorang mahram hanya boleh melihat anggota tubuh wanita yang biasa nampak, seperti anggota-anggota tubuh yang terkena air wudhu’. [Lihat Sunan al-Baihaqi (no. 9417), al-Inshaaf (VIII/20), al-Mughni (VI/554), al-Majmuu’ Fataawaa Ibn Taimiyah (XVI/140) dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Dahulu kaum lelaki dan wanita pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan wudhu’ secara bersamaan.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 193), Abu Dawud (no. 79), an-Nasa’i (I/57) dan Ibnu Majah (no. 381)]

Hadits di atas difahami sebagai suatu keadaan yang terjadi khusus bagi para istri dan mahram, di mana mahram boleh melihat anggota wudhu’ para wanita. [Lihat Fat-hul Baari(I/465), ‘Aunul Ma’bud (I/147) dan Jaami’ Ahkaamin Nisaa’ (IV/195)]

Kesimpulan dari pendapat kedua adalah bahwa mahram hanya diperbolehkan untuk melihat anggota wudhu’ seorang wanita.

***
artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Maraji’:

  • Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir
  • Fataawaa an-Nisaa’ (Edisi Terjemah), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ta’liq: Muhammad Muhammad Amir, cet. Ailah
  • Fat-hul Baari bi Syarh Shahiih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani, cet. Daar al-Hadits
  • Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq
  • Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Pustaka at-Tibyan
  • Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir
  • Syarah al-Arba’uun al-Uswah Min al-Ahaadiits al-Waaridah fii an-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan

 

Mengeluh dan Merasa Sempit dengan Kehidupan?

Sebagian istri ada yang mengeluhkan kehidupannya dan tidak bisa menerima penghasilan suaminya. Ia ingin hidup seperti Fulanah atau seperti salah seorang karib keluarganya.

Engkau lupa bahwa Allah tidaklah menciptakan manusia sama rata. Allah menciptakan orang kulit putih dan orang kulit hitam, orang kaya dan orang miskin, orang kuat dan orang lemah.

Agar engkau dapat menenangkan dirimu hendaklah camkan hadits berikut ini

“Lihatlah orang yang dibawahmu dan jangan lihat orang yang diatasmu, hal itu lebih baik sehingga engkau tidak menyepelekan nikmat Allah.” (HR Muslim)

Ingatlah selalu bahwa kebahagiaan bukan hanya terletak pada harta semata. Berapa banyak wanita yang memiliki suami kaya hartanya namun bakhil perasaan dan cintanya. Sementara yang lain memiliki suami yang fakir hartanya namun kaya perasaannya dan cinta kepada istri dan rumahnya.

Hendaklah seorang istri selalu ridha menerima suaminya yang mencintai dirinya. Kebahagiaan itu bukan hanya terletak pada makanan dan minuman, bukan berhias dengan pakaian mahal, perabotan mewah, emas perak dan kendaraan yang banyak. Namun kekayaan itu letaknya dalam dada dan hati yang tenang, penuh dengan cinta dan keimanan.

***

Artikel muslimah.or.id
Disalin dari buku Agar Suami Cemburu Padamu, karya Dr. Najla’ As Sayyid Nayil, Pustaka At Tibyan

 

Tentang Makan dan Minum Sambil Berdiri

Masalah makan dan minum sambil berdiri termasuk perkara fiqh yang banyak sekali perbedaan pendapat, diringkas menjadi tiga pendapat :

1. Tarjih, yakni hadits-hadits yang membolehkan lebih kuat dari yang melarang

2. Nasakh, yakni hadits-hadits yang membolehkan menasakh (menghapus) hadits-hadits yang melarang

3. Jama’, ini pendapat mayoritas ulama, yakni hadits-hadits yang melarang menunjukkan makruh tanzih, atau irsyad atau saat tidak ada ‘udzur artinya makan dan minum sambil berdiri boleh dilakukan tapi lebih utama ditinggalkan, atau lebih baik ditinggalkan, atau boleh dilakukan jika ada ‘udzur seperti tidak adanya tempat duduk, tempat penuh sesak dan seterusnya.

Untuk pembahasan haditsnya saya tulis satu per satu mulai dari hadits-hadits yang disebutkan :

> Dari Anas dan Qatadah ra, dari Nabi SAW:
> Sesungguhnya beliau melarang seseorang minum sambil
> berdiri, Qotadah ra berkata:”Bagaimana dengan makan?”
> beliau menjawab: “Itu kebih buruk lagi”. (HR. Muslim> dan Tirmidzi)

Sebenarnya hadits itu dari Qotadah (tabi’in, bukan sahabat) dari Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang minumnya seseorang sambil berdiri, Qotadah berkata “maka kami bertanya, “bagaimana dengan makan?”” maka beliau (Anas) berkata itu lebih buruk atau lebih kotor”. (HR Muslim). Sedangkan riwayat at-Tirmidzi semakna dari jalur Qotadah juga dengan redaksi ” … bahwa beliau melarang …berdiri, kemudian dikatakan “Bagaimana dengan makan?”, beliau (Anas) berkata “Itu lebih parah”. (HR Tirmidzi beliau berkata “ini hadits hasan shahih”.Hadits dengan lafadz tersebut dishahihkan para ‘Ulama hadits termasuk al-Albani.

> Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:
> “Jangan kalian minum sambil berdiri ! Apabila kalian
> lupa, maka hendaknya ia muntahkan !” (HR. Muslim)

Redaksi “Janganlah sekali-sekali salah seorang dari kalian minum sambil berdiri, barangsiapa lupa hendaklah dia memuntahkannya!”(HR Muslim)

Hadits ini walaupun diriwayatkan Muslim khusus untuk jalur dan lafadz ini, dikatakan munkar oleh al-Albani(silsilah al-ahadits adh-dha’ifah 2/427 (maktabahsyamilah)) karena ada rawi yang bernama ‘Umar bin Hamzah dilemahkan para Ulama seperti Imam Ahmad (beliau mengatakan hadits-haditsnya munkar),an-Nasa’i, Yahya bin Ma’in, juga adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar. Mungkin Imam Muslim menjadikannya sebagai penguat hadits-hadits semakna sebelumnya dalam Bab Makruhnya minum sambil berdiri, karena ‘Umar bin Hamzah termasuk yang ditulis haditsnya untuk i’tibar (penguat,..dst),ini bukan berarti mengatakan hadits riwayat Muslim ada yang lemah karena hadits-hadits muslim yang sebagai penguat memang beberapa sanadnya bermasalah untuk pokok (hujjah) tetapi boleh untuk penguat, sehingga hadits Muslim tentang larangan minum sambil berdiri jelas-jelas sahih tetapi ada beberapa lafadz yang dipertanyakan seperti perintah untuk memuntahkan, menjadi pertanyaan karena hadits dengan lafadz tersebut tidak sahih akan tetapi sebagian ulama mengatakan mustahab (disukai) memuntahkannya dengan dalil yang lain misalnya:

“Kalau orang yang minum sambil berdiri itu tahu apa yang ada di dalam perutnya dia musti sudah memuntahkannya”

dikeluarkan Ahmad dari Abu Hurairah, al-Albani mengatakan sanadnya shahih, al-Haitsami mengatakan rijalnya shahih (lihat silsilah al-ahadits ash-shahihah 1/175(maktabah syamilah))

Sedang hadits-hadits yang membolehkan misalnya :

Dari an-Nazzal beliau berkata: ‘Ali radhiallahu ‘anhu datang di pintu ar-rahbah (tempat yang luas) maka beliau minum sambil berdiri dan mengatakan : sesungguhnya orang-orang membenci minum sambil berdiri dan sesungguhnya aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sebagaimana kalian melihatku melakukannya (minum sambil berdiri). (HR al-Bukhari dalam bab Minum sambil berdiri (17/331) (maktabahsyamilah))

Dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamminum air zamzam sambil berdiri. (HR HR al-Bukhari dalam bab Minum sambil berdiri (17/333) (maktabah syamilah))
Dari Ibnu ‘Umar beliau berkata : Kami makan pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berjalan, kami minum sambil berdiri. (HR at-Tirmidzi dan beliau berkata ini hadits shahih gharib(7/90)(maktabah syamilah)), Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih wa Dha’if at-Tirmidzi (4/381)(maktabahsyamilah)dan hadits-hadits yang semakna.

Bolehnya makan dan minum sambil berdiri diriwayatkan darisahabat ‘Umar,’Ali,’Aisyah dan lainnya.

Silakan direnungkan dan dipilih yang paling kuat sesuai kapasitas kitamasing-masing

Allahu a’lam

 

http://noorakhmad.blogspot.com/search/label/Islam?updated-max=2009-01-06T16:47:00%2B08:00&max-results=20

Prasangka Boleh atau Terlarang?

Dalil tidak bolehnya persangkaan:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمُُ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa …” QS al-Hujurat:12.

Ayat ini menunjukkan perintah untuk menjauhi kebanyakan sangkaan karena sebagian sangkaan itu dosa. Mafhumnya ada di sana sangkaan yang tidak berdosa dan tidak diperintahkan untuk menjauhinya. Kita lihat tafsir para ulama tentang hal ini:

Ibnu Katsir: “ALLAH Ta’ala berfirman dalam rangka melarang hamba-hambanya yang beriman terhadap kebanyakan prasangka yakni tuduhan dan tuduhan khianat tidak pada tempatnya terhadap keluarga, kerabat dan manusia. Karena sebagian (prasangka) itu hanyalah dosa maka hendaknya menjauhi kebanyakan darinya (prasangka) dalam rangka berhati-hati.”

Beliau menafsirkan prasangka yang dimaksud dengan tuduhan dan tuduhan khianat. Sebagai contoh ketika ada orang dimintai sumbangan tidak memberi terus kita tuduh bakhil. Orang yang menasihati kita kita tuduh dengki. Orang yang memperingatkan kesalahan seseorang kita tuduh ghibah, buruk sangka dan lain sebagainya.

al-Qurthubi berkata: “Ulama kami berkata, prasangka di sini dan di dalam ayat ini adalah tuduhan. Sisi peringatan dan pelarangan (dalam ayat ini) hanyalah tuduhan tanpa sebab yang mewajibkannya (menunjukkannya) sebagaimana orang yang dituduh berbuat keji atau minum khamr –misalnya– padahal tidak nampak atasnya apa yang menunjukkan hal tersebut.”

Ibnu Jauzi menukil pendapat az-Zujaj tentang ayat ini: “Yaitu berprasangka kepada orang yang baik dengan kejelekan, sedangkan orang yang buruk dan fasik maka bagi kita berprasangka sama dengan apa yang nampak dari mereka”.

Sehingga berprasangka buruk kepada orang-orang yang menampakkan keburukannya tidak termasuk prasangka yang dilarang. Contohnya adalah hadis:

Datang seseorang minta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau berkata: “Sejelek-jelek saudara kerabat(kabilah)!”, ketika orang itu duduk beliau berseri-seri wajahnya dan ramah kepadanya….” (HR Bukhari dan Muslim)

Tidaklah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut prasangka yang diharamkan.

Bahkan di dalam syari’at Islam banyak hal yang didasarkan persangkaan:

Ketika seorang Qadhi atau Hakim menghukum seseorang yang berbuat kejahatan, tidak mungkin dia lepas dari persangkaan sebab bukti-bukti serta saksi saksi tidaklah sampai ke derajat yakin. Kalau persangkaan Hakim berdasar bukti-bukti serta saksi yang ada bahwa si penjahat bersalah lebih kuat dari sangkaan bahwa si penjahat tidak bersalah, maka Qadhi atau Hakim boleh menjatuhkan hukuman, jika sebaliknya maka tidak boleh. Tidak perlu harus sampai kepada derajat yakin atau pasti.
Bahkan si Hakim pun boleh menolak persaksian seseorang berdasar persangkaan melalui data-data yang ada walaupun tidak sampai ke level yakin atau pasti.

Begitu pula mengamalkan hadis-hadis yang shahih walaupun hanya dari satu jalur riwayat tentu tidak lepas dari persangkaan.

So janganlah kita mudah menuduh orang lain yang tidak sejalan dengan kita dengan label-label : buruk sangka kepada saudaranya. Sebab menuduh orang lain tanpa bukti itu adalah salah satu dari persangkaan yang dilarang.

ALLAH A’lam

http://noorakhmad.blogspot.com/2010/09/prasangka-boleh-atau-terlarang.html

Pendidik Ideal

 

 

 

Oleh : Al Maghriby bin As Sayyid Mahmud Al Maghriby

 

 

Wahai para pendidik, bila kita ingin berhasil dalam mendidik anak maka hendaknya pertama kita mendidik diri kita sendiri dengan komitmen terhadap ajaran Islam yang berkaitan dengan pendidikan dan sunnah nabi. Karena Beliau teladan terbaik dan utama bagi orang tua dan pendidik serta seluruh kaum muslimin.

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

 

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

 

Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu(yaitu) bagi kamu yang mengharap(rahmat) Allah dan RasulNya dan (kedatangan) hari kiamat.

[Al Ahzab : 21]

 

 

PEMAAF DAN MURAH HATI

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

 

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [Ali Imran : 134]

 

Allah berfirman.

 

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. [Al A’raaf : 199]

 

Allah berfirman.

 

فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ

Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik. [Al Hijr : 85]

 

Dari Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah bersabda kepada Abdul Qais.

 

إنَّ فِيْكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا الله: الْحِلْمُ وَاْلأنَاة.

Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua sifat yang dicintai Allah, Al Hilm (pemaaf) dan Anah (murah hati). [1]

 

Pemaaf dan murah hati merupakan sifat paling mulia yang harus dimiliki oleh setiap pendidik teladan karena sifat merupakan kebaikan di atas kebaikan. Dan kedua sifat itu sangat dicintai Ar Rahman. Oleh sebab itu seorang pendidik harus menjadi pemaaf dan murah hati apapun yang dilakukan oleh seorang anak. Maka hendaklah menjadi seorang pemaaf dan jangan memberi sanksi kepada anak dalam keadaan marah. Pergaulilah anakmu dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Terimalah apa adanya tidak menuntut yang paling ideal. Luruskan tingkah lakunya, perbaikilah dan didiklah dengan etika dan adab yang baik.

 

Pemaaf merupakan sifat yang mulia yang diberikan Allah kepada para rasul dan para nabi sebagaimana dalam firman-Nya.

 

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّاهٌ مُنِيبٌ

Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah. [Huud : 75]

 

Dan pemaaf merupakan sifat yang paling mulia karena Allah mensifati diri-Nya dalam firman-Nya.

 

وَاللهُ غَنِيٌّ حَلِيمُُ

Allah Maha Kaya dan Maha Penyantun. [Al Baqarah :263]

 

 

 

LEMAH LEMBUT DAN MENJAUHI DARI SIFAT KASAR DALAM BERMUAMALAH

 

 

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لَا يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ

Sesungguhnya Allah Maha lemah lembut yang sangat cinta kelembutan dan memberi kepada sikap lemah lembut sesuatu yang tidak diberikan kepada sifat kasar.

 

 

Dari Aisyah bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

إذاَ أرَادَ الله بأِهْلِ بَيْتٍ خَيْرًا أدْخَلَ عَلَيْهِمُ الرِّفْقَ

Jika Allah menghendaki suatu keluarga kebaikan maka Allah memasukkan kepada mereka sikap lemah lembut. [2]

 

Dari Ummul Mukminin Aisyah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

عَلَيْكُمْ بِالرِّفْقِ إنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إلاَّ زَانَهُ وَلَا يَنْزِعُ عَنْ شَيْءٍ إلاَّ شَانَهُ

Bersikaplah lemah lembut, sesungguhnya kelembutan tidak ada pada sesuatu kecuali akan membuatnya indah dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali membuatnya rusak. [3]

 

Dari Jarir bin Abdullah berkata aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

مَنْ يُحْرَمْ الرِّفْقَ يُحْرَمْ الْخَيْرَ كُلَّهُ

Barangsiapa yang tidak diberi sifat kelembutan maka ia tidak memiliki kebaikan sama sekali.[4]

 

 

Dari Abu Hurairah berkata bahwa kami pernah shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Isya’ dan ketika Beliau sujud, Hasan dan Husain melompat ke atas punggungnya. Ketika Beliau bangkit dari sujud Beliau mengambil keduanya lalu diletakkan dengan pelan-pelan, dan bila Beliau sujud keduanya kembali naik ke punggungnya. Dan ketika Beliau shalat keduanya dipisah tempat sebagian di letakkan pada suatu tempat dan yang lain pada tempat yang lain, lalu aku datang kepada Beliau,” Wahai Rasulullah, boleh tidak aku membawa keduanya kepada ibunya?” Beliau bersabda,” Jangan”. Tapi ketika kilat bersinar maka Beliau bersabda,” Bawalah keduanya untuk menemui ibunya”. Maka keduanya berjalan di tengah terangnya sinar hingga masuk rumah. [5]

 

 

 

 

 

 

BERHATI PENYAYANG

 

Sifat penyanyang harus dimiliki oleh setiap pendidik yang menginginkan keberhasilan dalam mendidik anak

 

Imam Al Bazzar meriwayatkan dari Ibnu Ummar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah tidak menyanyangi orang yang tidak sayang kepada anaknya, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya tidak akan masuk surga kecuali orang penyanyang. Kami berkata: Wahai Rasulullah setiap kami menjadi orang penyanyang, Beliau bersabda: Seorang penyanyang bukanlah orang yang menyanyangi temannnya tapi menyanyangi semua umat manusia”. [6]

 

Dari Abu Umamah bahwa seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dua orang anak lalu Beliau memberinya tiga butir kurma, maka wanita tersebut memberikan satu butir kurma kepada masing-masing anak, kemudian salah seorang di antara anaknya menangis lalu ia membelah satu kurma menjadi dua lalu masing-masing anak diberi separuh kurma, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

وَالِدَاتٌ حَامِلَاتٌ رَحِيْمَاتٌ بِأوْلاَدِهِنَّ لَوْ لاَ مَا يَصْنَعْنَ بأزْوَاجِهِنَّ دَخَلَ مُصَلَّياَتِهِنَّ الْجَنْةَ

 

Orang tua wanita yang hamil lagi penyanyang terhadap anak-anaknya, jika bukan karena kesalahan yang mereka perbuat terhadap suami mereka maka ia akan masuk surga bersama tempat shalatnya.[7]

 

Dari Ubadah bin Shamith bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يجل كَبِيْرَناَ وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفُ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

 

Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati yang tua, tidak menyanyangi yang kecil dan tidak mengenal hak orang alim.[8]

 

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ شَرَفَ كَبِيْرِنَا

 

Bukan termasuk golonganku, orang yang tidak sayang kepada yang kecil dan tidak mengenal kedudukan orang yang besar. [9]

 

Dari Anas bin Malik bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُوْقِرْ كَبِيْرَنَا

 

Bukan termasuk golonganku, orang yang tidak sayang kepada yang kecil dan tidak menghormati orang yang besar. [10]

 

Dari Haritsah bin Wahb Al Khuza’i berkata bahwa saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

ألاَ أُخْبِرُكُمْ بِأهْلِ الْجَنَّةِ؟ كُلُّ ضَعِيْفٍ متضعف لَوْ أقْسَمَ عَلَى الله لَأبَرَّهُ ألاَ أُخْبِرُكُمْ بأهْلِ النَّارِ؟ كُلُّ عُتُلٍّ جوظ مُسْتَكْبِرٍ.

 

Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang penghuni surga? Setiap orang yang lemah lagi dianggap hina, bila ia bersumpah atas nama Allah maka Allah akan mengabulkannya. Maukah kalian aku kabarkan tentang penghuni neraka? Setiap orang yang congkak, dungu lagi sombong.[11]

 

 

KETAKWAAN

 

Allah Ta’ala berfirman:

 

يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ

 

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya.

[Ali Imran : 102]

 

Allah Azza wa Jalla berfirman.

 

فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. [At Taghaabun : 16]

 

 

Allah Azza wa Jalla berfirman.

 

وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا {2} وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَيَحْتَسِبُ

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang iada disangka-sangka. [Ath Thalaaq : 2-3]

 

 

Allah Azza wa Jalla berfirman.

 

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا

 

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yaang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. [An Nisa’: 9]

 

 

Takwa merupakan kekayaan hakiki yang harus dimiliki oleh setiap para pendidik untuk diwariskan kepada anak cucunya, diajarkan dan ditanamkan kepada mereka serta menjadi perhatian paling utama dan serius bagi seluruh orang tua. Hendaklah orang tua atau pendidik, jangan hanya bisa membuka rekening di berbagai bank, mengumpulkan beberapa bidang tanah dan membangun apartemen untuk diwariskan kepada anak cucunya, akan tetapi yang lebih mulia dari itu semua adalah ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kepada kita tanggung jawab untuk memelihara anak-anak kita dari api neraka sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلآئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادُُ لاَّيَعْصُونَ اللهَ مَآأَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَايُؤْمَرُونَ

 

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [At Tahrim : 6]

 

Ada beberapa perkakataan ulama berkenaan dengan tafsir ayat di atas. Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Didiklah dan ajarilah anak-anak kalian”.

 

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Taatilah perintah Allah dan hindarkanlah diri kalian dari perbuatan maksiat serta perintahlah anak-anakmu untuk berdzikir kalian akan selamat dari neraka”.

 

Mujahid rahimahullah berkata, ”Bertakwalah kamu kepada Allah dan berwasiatlah kepada anakmu dan keluargamu agar bertakwa kepada Allah”.

 

Qatadah berkata,” Hendaklah engkau memerintahkan mereka berbuat ketaatan dan melarang dari perbuatan maksiat serta menegakkan agama. Hendaklah kamu menyuruh dan membantu mereka berbuat ketaatan dan engkau jauhkan mereka dari perbuatan maksiat”.

 

Dhahhak dan Muqatil berkata,”Setiap muslim wajib mendidik keluarga, kerabat, dan para pembantu serta pekerjanya agar melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya”.[12]

 

Rasulullah telah memerintahkan kepada kita agar melindungi putera-puteri kita dengan takwa kepada Allah dan silaturrahmi dengan kerabat dan famili.

 

Dari Nu’man bin Basyir bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

اِتَّقُوْا الله وَاعْدِلُوْا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ.

Bertakwalah kepada Allah dan bersikap adil kepada sesama anak-anak kalian.[13]

 

 

Dari Ibnu Asakir dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata.

 

اِتَّقُوْا الله وَصِلُوْا أَرْحاَمَكُمْ.

Bertakwalah kalian kepada Allah dan sambunglah silaturrahmi kepada kerabat kalian. [14]

 

 

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Berbuatlah baik kepada orang tua kalian maka anak-anak kalian akan berbuat baik kepada kalian, serta bersikaplah pemaaf maka isteri-isteri kalian akan menjadi pemaaf”.[15]

 

Barangsiapa yang tidak sayang terhadap dirinya maka sebagai orang hendaklah sayang kepada anak-anaknya, dengan berbuat baik kepada orang tua agar putera-puterinya diberi taufik Allah Subhanahu wa Ta’ala berbuat baik kepadanya sehingga mereka terjauh dari durhaka kepada kedua orang dan terhindar dari murka Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 

 

 

LEMAH LEMBUT DALAM BERMUAMALAH DENGAN ANAK

 

Allah berfirman.

 

لاَتَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَامَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ وَلاَتَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِيَن

Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. [Al Hijr : 88]

 

Allah berfirman.

 

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ

 

Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka itu. [Ali Imran : 159]

 

Dari Abdullah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

ألاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يُحْرَمُ عَلَى النَّارِ أوْ بِمَنْ تُحْرَمُ عَلَيْهِ النَّارُ؟ تُحْرَمُ عَلَى قَرِيْبٍ هِيْنٍ لَيِّنٍ سَهْل.

Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang yang haram masuk neraka atau neraka diharamkan baginya? Setiap orang dekat, mudah, lemah lembut dan membuat semua urusan gampang.[16]

 

 

Dari Ummul Mukminin, Aisyah berkata,” Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam disuruh untuk memilih dua urusan pasti selalu memilih yang paling ringan di antara keduanya selagi tidak ada unsur dosa namun bila mengandung unsur dosa maka Beliau orang yang paling jauh darinya. Tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam balas dendam untuk kepentingan diri sendiri kecuali bila aturan Allah dilecehkan maka Beliau membelanya karena Allah. [17]

 

 

Lemah lembut dan mempermudah masalah bukan berarti berlebihan dalam memanjakan anak sehingga hal itu akan menjadi faktor paling berbahaya dalam menghancurkan akhlak, jati diri dan kepribadian anak. Kebanyakan para pemuda yang rusak dan nakal yang tidak memiliki tujuan dan prinsip hidup, berasal dari sikap manja dan tidak serius dalam mendidik anak. Maka sikap manja yang berlebihan akan berakibat fatal pada masa depan anak dan menyengsarakan keluarga bahkan menyusahkan semua anggota masyarakat sehingga akan hidup dalam kehancuran, kesesatan dan dekadensi moral serta berada dalam kehidupan tanpa pegangan dan prinsip serta tujuan yang jelas.

 

 

Syaikh Muhammad Khidir Husain berkata,” Kebanyakan pengendali dan pengelola rumah tangga kurang faham terhadap pentingnya tarbiyah sehingga bersikap teledor dengan menuruti segala kemauan anak dan membiarkan anak menikmati kepuasan hidup sesuka hatinya. Bahkan orang tua terkadang menyanjung tindakan itu di hadapan orang lain. Orang tua berlebihan memberi komentar positif sementara tanpa berhitung akibat yang ditimbulkan. Sangat buruk usaha orang tua dalam membuat tipuan pada anak seandainya para orang tua mengetahui akibat buruknya. Tindakan itu hanya sebuah usaha perangkap bagi anak yang menjauhkan dari etika bagus dan merusak kebahagian anak dunia dan akhirat”.

 

Seorang pendidik hendaknya menyeimbangkan antara sikap lemah lembut dan sikap tegas. Setiap pendidik dalam muamalah dan interaksi dengan anak harus memadukan secara seimbang dan serasi antara sikap lemah lembut dan tegas dehingga setiap tindakan penuh dengan hikmah.

 

 

 

 

 

 

MENJAUH DARI SIKAP MARAH

 

 

Dari Abu Hurairah bahwa ada seorang yang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” Wahai Rasulullah berilah wasiat kepadaku” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

لاَ تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا, قَالَ: لاَ تَغْضَبْ

Jangan engkau marah, Beliau mengulangi berkali-kali, Beliau bersabda:,”janganlah kamu marah”.

 

 

Dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ

Janganlah marah maka bagimu surga.

 

 

Dari Muadz bin Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يَنْفَذَهُ دَعَاهُ الله سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى رُؤَسَاءِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيَّرَهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ.

 

Barangsiapa yang menahan dendam atau marah sementara ia mampu untuk melampiaskan maka Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk pada hari kiamat hingga disuruh memilih bidadari yang ia sukai.

 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

لَيْسَ الشَّدِيْدَ بِالصَّرَعَةِ, إنَّمَا الشَّدِيْدُ مَنْ يَمِلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.

Bukanlah orang yang kuat adalah orang yang pandai bertengkar akan tetapi orang kuat adalah orang yang mampu menahan diri ketika marah.

 

 

Diriwayatkan bahwa Zainal Abidin Ali bin Husain memiliki budak yang memecahkan kendi yang terbuat dari keramik. Lalu pecahan kendi mengenai kaki Zainal Abidin hingga luka, maka anak itu sontak berkata,”Allah berfirman,” Orang-orang yang menahan dendam dan amarah”. Zainal Abidin berkata,” Aku telah berusaha menahan dendam dan amarahku”. Lalu anak itu berkata,”Allah berfirman,” Dan memaafkan manusia”. Lalu Beliau menjawab,” Aku telah memaafkan”. Ia berkata,” Allah berfirman,” Dan sangat mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan”. Maka Zainal Abidin berkata,” Sekarang juga kamu menjadi orang yang merdeka karena Allah”.

 

 

Betapa indahnya sikap pemaaf dan menahan marah, betapa eloknya buah keduanya sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang hakim ketika memutuskan masalah dalam keadaan marah.

 

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 

لاَ يَقْضِيَنَّ حَاكِمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ

 

Janganlah seorang hakim memutuskan hukum di antara dua orang sementara dalam keadaan marah.

 

Pernah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberi sanksi kepada orang dengan pukulan, namun ketika hukuman hendak ditegakkan maka Beliau berkata,”Batalkan hukuman itu”, lalu Beliau ditanya sebabnya, maka Beliau menjawab,”Aku merasa sedang marah dan aku khawatir memutuskan hukuman dalam keadaan sedang marah”.

 

Abu Hasan berkata ,”Begitulah seharusnya sikap pendidik agar mampu menghasilkan anak didik yang bagus dan handal maka tidak boleh seorang pendidik memberi sanksi kepada anak hanya karena ingin melampiaskan dendam dan amarah dalam dada. Dan bila hal itu terjadi berarti anda telah menjatuhkan hukuman kepada putera-puteri kaum muslimin untuk memuaskan hati belaka dan demikian itu jelas tidak adil”.

 

Ibnu Qayyim berkata,”Sumber kerusakan moral berasal dari empat hal; kebodohan, kedzaliman, syahwat dan kemarahan. Sebab marah akan menimbulkan sikap sombong, dengki, hasud, permusuhan dan kehinaan”.

 

 

 

BERSIKAP ADIL DAN TIDAK PILIH KASIH

 

Adil dalam mendidik anak merupakan pilar utama pendidikan dalam islam yang tidak boleh tidak. Karena langit dan bumi tegak hanya di atas keadilan. Hendaknya orang tua bersikap adil dan tidak mengutamakan satu dengan yang lainnya di antara putera-puterinya baik dalam masalah materi seperti pemberian, hadiah atau dalam masalah non materi seperti kasih sayang, perhatian dan kecintaan. Perasaan cinta secara adil antara anak akan menciptakan kehidupan saling tolong menolong serta perhatian kepada orang lain, sehingga anak akan tumbuh besar jauh dari sikap egoisme, ananiyah dan senang menyendiri serta merasa paling hebat di antara yang lain. Bahkan anak tubuh besar membaa kebiasaan gemar mengutamakan orang lain dan tidak suka menciptakan pertengkaran di antara teman-teman dan saudaranya hanya karena masalah sepele. Maka bersikap adil dan tidak pilih kasih merupakan akhlak mulia yang diperlukan dalam segala urusan.

 

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang berada di depan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu puteranya datang kepadanya, kemudian ia menciumnya dan mendudukkan di samping kanannya, kemudian datang puterinya lalu ia dudukkan di hadapannya maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihin wa sallam bersabda,”Kenapa engkau tidak menyamakan antara keduanya?

 

Dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu bahwa bapaknya datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama anaknya lalu ia berkata,” Saya memberi anakku ini suatu pemberian”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Apakah engkau memberikan kepada setiap anakmu seperti itu? Ia menjawab:,”Tidak”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Minta kembali pemberian itu dan bertakwalah kepada Allah dan bersikaplah adil antara anakmu”.

 

Demi memenuhi panggilan di atas maka para pendidik harus bersikap adil di antara anak-anak dan tidak bersikap diskriminasi sesama anak baik dalam masalah sepele atau besar, karena sikap demikian akan mencipkan kebencian dalam dada dan menumbuhkan benih kedengkian dan kekecewaan serta menyebabkan sifat pengecut, takut, tidak percaya diri, putus asa dalam hidup dan suka menodai hak orang serta membangkang. Bahkan akan menimbulkan berbagai macam penyakit kejiwaan, perasaan rendah diri dan dekadendi moral dan keganjilan prilaku dalam hidup.

 

Allah yang Maha Tinggi dan Maha Mampu telah menyuruh kita semua agar bersikap adil dan mengharamkan sikap dzalim atas diri-Nya serta dijadikan hal itu haram di antara kita. Begitu juga Rasulullah mengajak kepada kita semua agar bersikap adil dan meninggalkan kedzaliman sebab kedzaliman akan mendatangkan kegelapan.

 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

كُلُّ سُلاَمَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلُّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ تَعْدِلُ بَيْنَ اثْنَيْنِ صَدَقَةٌ.

 

Setiap persendian dari tubuh manusia ada shodaqohnya. Dalam setiap hari selagi matahari terbit engkau berbuat adil diantara dua orang hal itu merupakan sedekah.

 

Dari Ubadah bin Shamith Radhiyallahu ‘anhu berkata,” Kami berbaiat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap setia dalam kesulitan dan kemudahan, dalam keadaan semangat dan kendor serta setia kepada pemimpin dalam keadaan dzalim kepada kita dan tidak mengambil kekuasaan orang lain dengan paksa serta hendaknya kami berbicara kebenaran apa adanya tidak takut terhadap celaan orang yang mencela”.

 

Dalam riwayat Nasa’i “Hendaknya kami bersikap adil di di mana saja kita berada.

 

 

Dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

إنَّ الْمُقْسِطِيْنَ عِنْدَ الله عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُوْرٍ عَلَى يَمِيْنِ الرَّحْمَنْ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِيْنٌ الَّذِيْنَ يَعْدِلُوْنَ فِي حُكْمِهِمْ أَهْلَهُمْ وَمَا وَلَّوْا.

 

Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah akan berada di atas mimbar dari cahaya yang berasal dari sisi kanan Ar Rahman dan kedua tangan-Nya adalah kanan, orang-orang yang bersikap adil dalam memutuskan hukum dan kepada keluarganya.

 

 

Wahai pendidik, ketahuilah boleh jadi ada anak baik sementara tumbuh besar dari tengah-tengah kesesatan dan penyelewengan akhlak. Bahkan ada anak yang baik tumbuh dari keluarga yang tidak mengenal agama atau keluarga yang beragama sesat. Dan terkadang ada orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendidik anak ternyata mengalami kegagalan. Maka ketahuilah hidayah dan taufik hanya datang dari Allah sehingga tugas kita hanya berusaha dan ikhtiar dengan disertai sikap tawakkal kepada Allah karena Dialah yang menentukan semua hasil usaha.

 

Wahai saudaraku, berusahalah dengan sekuat tenaga untuk memberi contoh dan teladan baik bagi anak-anakmu karena tingkah laku merupakan cerminan hati maka hendaklah anak-anakmu selalu melihat kebaikan dari semua urusanmu sekecil apapun sebab mendidik para pendidik lebih utama karena itu sangat menentukan hasil usaha karena orang tidak mempunyai sesuatu tidak akan bisa memberi maka agar tidak tidak dicela oleh zaman, tempat dan kesulitan serta musuh maka hendaknya kita harus mendidik diri secara baik.

 

 

Seorang penyair berkata.

 

نَعِيْبُ زَمَانَنَا وَالْعَيْبُ فِيْنَا * وَمَا لِزَمَانِنَا عَيْبُ سِوَاناَ

وَنَهْجُوْ ذَا الزَّمَانِ بِغَيْرِ ذَنْبٍ * وَلَوْ نَطَقَ الزَّمَانُ لَنَا هَجَانَا

 

Kita sering mencela zaman dan keadaan padahal kesalahan ada pada kita sementara keadaan tidak mungkin menyimpan kesalahan kalau kita tidak melakukan kesalahan.

 

Kita mencaci maki keadaan tanpa suatu kesalahan padahal seandainnya keadaan bisa berbicara maka ia akan balik mencela kita.

 

Ketika umat Islam meninggalkan manhaj Islam dan sunnah Nabi maka mereka berada dalam kegelapan hidup, tidak sensitif terhadap kemungkaran, mengekor kepada budaya dan tradisi barat dan timur baik model pakaian dan model rambut maka di antara mereka ada yang memotong rambutnya mirip rambut anjing, armbut kucing dan berpakaian menyerupai perempuan serta kebiasaan menari, berjoget, menyanyi dan pamer keindahan tubuh dan aurat. Umat kita kehilangan jati diri dan kepribadian ditelan oleh sikap mengekor dan meniru orang-orang barat dan kafir sementara secara tak sadar kaum muslimin telah dijadikan musuh sebagai sasaran proyek penyesatan dan westernisasi karena prinsip pemikiran Yahudi adalah merusak generasi umat lain agar negara Yahudi raya berdiri tegak.

 

Wahai saudaraku, anjurkan kepada keluargamu agar tetap berpegang teguh dengan agama Allah dalam setiap keadaan dan ciptakan keluarga rabbani yang terdidik berdasarkan cahaya ilahi dan sunnah nabi Muhammad. Bermanhaj Islam, berdiri atas kalimat La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah, bermoto kami menyembah kepada Allah dan hanya meminta pertolongan kepada-Nya. Dengan demikian generasi bangsa akan baik dan agama Islam akan kokoh serta umat Islam akan jaya menjadi pengendali umat lain di atas muka bumi.

 

 

 

 

 

 

————-

(Diangkat dari kitab bertajuk “Kaifa Turabbi Waladan Salihan” karya Al Akh Al Maghriby bin As Sayyid Mahmud Al Maghriby semoga Allah menjaganya) Ummu Rasyidah)

 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

_______

Footnote

[1]. Riwayat muslim 17,18 dan dikeluarkan Abu Dawud 5225,

[2]. Riwayat Ahmad 6/71, 104) da tarikh Bukhari 1/412, Sya’bul Iman Oleh Baihaqi (6560, 7766) dari Aisyah

[3]. HR. Muslim 2594

[4]. HR. Muslim 2592

[5]. Riwayat Ahmad 2/513dan Thabrani di dalam Al Kabair2659, hakim di dalam Mustadrak 3/183 sanad shahih, Dzahabi berkata Shahih lihat Majmu’ Zawaid 9/181.

[6]. Riwayat Abu Ya’la 4258, Ishaq 401, Dha’if jami’1927 dan Adhaifah 3194.

[7]. Riwayat Ibnu Majah 2013 dan Hakim di dalam Mustadrak 3/173 Hakim berkata Sanad shahih atas syaradari Syaikhani dan ia tidak mengeluarkan

[8]. Hasan Riwayat Imam Ahmad (5/323) Ath Thabrani 8/167,232) Shahih Jami’2/5444

[9]. Shahih. Riwayat Abu Dawud 4943, Tirmidzi 1921, dikeluarkan Ahmad bin Hanbal 2/75, Shahih Jami’ 2/5444

[10]. Shahih :Riwayat Tirmidzi Shahih Jami’ 2/5445 Ash Shahihah 2190

[11]. HR. Bukhari 4918, 2071,2257 dan Muslim 2190, 2803

[12]. Tafsir Ibnu Katsir 4/502

[13]. HR. Bukhari 5/155, 157 dan Muslim 1623

[14]. Hasan: Ibnu Asakir (57/317), Di dalam silsilah Hadits Shahih 769, shahih Jami’ shaghir 107

[15]. Riwayat Thabrani di dalam Al Ausath 1002 dan Hakim (4/170-171) dikeluarkan abu Na’im di dalam Akhbara Asbahani 2/48 di dalam Adh Dha’ifah 5/62-64.

[16]. Riwayat Tirmidzi 2488, dia berkata Hadits Hasan, di dalam Ash Shahihah 938, Shahih Jami’ Shaghir 1/2609, Nahwa 2490.

[17]. Muttafaqun’alaih:Bukhari 6/419, 420 dan Muslim 2327.

 

http://almanhaj.or.id/

 

° • · ♡·♥ ♥·♡ · • ° Innii Uhibbuki Fillaah ° • · ♡·♥ ♥·♡ · • °

• · Indahnya persahabatan dalam keta’atan kepada Allaah tabaraka wa ta’ala… ° • · ♡·♥ ♥·♡ · • ° Innii Uhibbuki Fillaah ° • · ♡·♥ ♥·♡ · • °

Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “(Agama) seseorang (dikenal) dari agama temannya maka perhatikanlah siapa temanmu.” (As Shahihah 927)

Ibnu Mas’ud berkata :
“Nilailah seseorang itu dengan siapa ia berteman karena seorang Muslim akan mengikuti Muslim yang lain dan seorang fajir akan mengikuti orang fajir yang lainnya.” (Al Ibanah 2/477 nomor 502 dan Syarhus Sunnah Al Baghawi 13/70)

Dan ia berkata :
“Seseorang itu akan berjalan dan berteman dengan orang yang dicintainya dan mempunyai sifat seperti dirinya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 499)

Beliau melanjutkan : “Nilailah seseorang itu dengan temannya sebab sesungguhnya seseorang tidak akan berteman kecuali dengan orang yang mengagumkannya (karena seperti dia).” (Al Ibanah 2/477 nomor 501)

Abu Darda mengatakan :
“Tanda keilmuan seseorang (dilihat) dari jalan yang ditempuhnya, tempat masuknya, dan majelisnya.” (Al Ibanah 2/464 nomor 459-460)

Yahya bin Abi Katsir mengatakan, Nabi Sulaiman bin Daud Alaihis Salam bersabda: “Jangan menetapkan penilaian terhadap seseorang sampai kamu memperhatikan siapa yang menjadi temannya.” (Al Ibanah 2/480 nomor 514)

Qatadah berkata :
“Sesungguhnya kami, demi Allah belum pernah melihat seseorang menjadikan teman buat dirinya kecuali yang memang menyerupai dia maka bertemanlah dengan orang-orang yang shalih dari hamba-hamba Allah agar kamu digolongkan dengan mereka atau menjadi seperti mereka.” (Al Ibanah 2/477 nomor 500)

Syu’bah berkata, aku dapati tulisan dalam catatanku (menyatakan) bahwasanya seseorang akan berteman dengan orang yang ia sukai. (Al Ibanah 2/452 nomor 419-420)

Al A’masy mengatakan :
“Biasanya Salafus Shalih tidak menanyakan (keadaan) seseorang sesudah (mengetahui) tiga hal yaitu jalannya, tempat masuknya, dan teman-temannya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 498)

Abdullah bin Mas’ud berkata :
“Nilailah tanah ini dengan nama-namanya dan nilailah seorang teman dengan siapa ia berteman.” (Al Ibanah 2/479 nomor 509-510)

Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “(Agama) seseorang (dikenal) dari agama temannya maka perhatikanlah siapa temanmu.” (As Shahihah 927)

Ibnu Mas’ud berkata :
“Nilailah seseorang itu dengan siapa ia berteman karena seorang Muslim akan mengikuti Muslim yang lain dan seorang fajir akan mengikuti orang fajir yang lainnya.” (Al Ibanah 2/477 nomor 502 dan Syarhus Sunnah Al Baghawi 13/70)

Dan ia berkata :
“Seseorang itu akan berjalan dan berteman dengan orang yang dicintainya dan mempunyai sifat seperti dirinya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 499)

Beliau melanjutkan : “Nilailah seseorang itu dengan temannya sebab sesungguhnya seseorang tidak akan berteman kecuali dengan orang yang mengagumkannya (karena seperti dia).” (Al Ibanah 2/477 nomor 501)

Abu Darda mengatakan :
“Tanda keilmuan seseorang (dilihat) dari jalan yang ditempuhnya, tempat masuknya, dan majelisnya.” (Al Ibanah 2/464 nomor 459-460)

Yahya bin Abi Katsir mengatakan, Nabi Sulaiman bin Daud Alaihis Salam bersabda: “Jangan menetapkan penilaian terhadap seseorang sampai kamu memperhatikan siapa yang menjadi temannya.” (Al Ibanah 2/480 nomor 514)

Qatadah berkata :
“Sesungguhnya kami, demi Allah belum pernah melihat seseorang menjadikan teman buat dirinya kecuali yang memang menyerupai dia maka bertemanlah dengan orang-orang yang shalih dari hamba-hamba Allah agar kamu digolongkan dengan mereka atau menjadi seperti mereka.” (Al Ibanah 2/477 nomor 500)

Syu’bah berkata, aku dapati tulisan dalam catatanku (menyatakan) bahwasanya seseorang akan berteman dengan orang yang ia sukai. (Al Ibanah 2/452 nomor 419-420)

Al A’masy mengatakan :
“Biasanya Salafus Shalih tidak menanyakan (keadaan) seseorang sesudah (mengetahui) tiga hal yaitu jalannya, tempat masuknya, dan teman-temannya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 498)

Abdullah bin Mas’ud berkata :
“Nilailah tanah ini dengan nama-namanya dan nilailah seorang teman dengan siapa ia berteman.” (Al Ibanah 2/479 nomor 509-510)

Gambar Makhluk Bernyawa

بسم االله الرحمن الرحيم

Dalam salah satu kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah, anak diminta menggambar makhluk bernyawa atau diberikan gambar ayam betina yang belum lengkap, lalu dikatakan padanya, “Sempurnakanlah gambar ini.” Terkadang si anak diminta menggunting gambar bernyawa lalu menempelkannya di atas kertas, atau ia diminta mewarnai gambar tersebut. Apa pendapat antum tentang hal ini?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullahu berkata, “Saya memandang hal tersebut haram, wajib untuk dilarang. Para penanggung jawab pengajaran harus menunaikan amanah dalam masalah ini dan melarang perkara yang seperti ini. Bila mereka ingin mencari kejelasan tentang kecerdasan seorang murid, mereka bisa mengatakan, ‘Buatlah gambar mobil atau pohon’, atau benda-benda semisalnya yang diketahuinya. Dengan seperti itu dapat diketahui sejauh mana kecerdasan, kecermatan, dan penerapannya terhadap perkara-perkara yang ada.

Apa yang terjadi di sekolah-sekolah tersebut merupakan musibah yang menimpa manusia dengan perantara setan, padahal sebenarnya tidak ada bedanya membuat gambar pohon, gambar mobil, istana ataupun gambar manusia. Karenanya aku memandang wajib bagi para penanggung jawab untuk melarang hal seperti itu. Bila memang terpaksa menggambar makhluk bernyawa maka hendaklah mereka menggambar hewan tanpa kepala.”

(Fatwa di atas diambil dari kitab Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 148-149)

 

WASIAT ABU DARDA rodhiyallohu ‘anhu

 

MUQODDIMAH
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Alloh ‘Azza wa jalla yang telah menjadikan untuk umat ini mimbar-mimbar petunjuk dan teladan yang sholih agar diikuti oleh orang-orang yang terdahulu dan belakangan.
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا
“Sesungguhnya Ibrohim adalah seorang imam yang patuh kepada Alloh dan lurus (tidak berbuat syirik).” [QS. An-Nahl: 120]
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh telah ada teladan yang baik bagi kalian pada diri rosululloh.” [QS. Al-Ahzaab: 21]
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad adalah utusan Alloh, dan orang-orang yang bersamanya (bersikap) keras terhadap orang-orang kafir dan penyayang terhadap sesama mereka.” [QS. Al-Fath: 29]
Maka segala puji bagi Alloh yang telah menegakkan hujjah kepada kita dan menjadikan jalan ini jelas tidak ada kerancuan padanya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak untuk disembah melainkan Alloh semata, tidak ada sekutu baginya. Dia adalah sesembahan orang-orang terdahulu dan belakangan, Dia adalah sesembahan bagi yang ada di langit dan di bumi. Dia mengetahui rahasiamu dan keterusteranganmu, dan Dia mengetahui apa yang kalian usahakan.
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Alloh dan utusan-Nya, manusia yang Dia pilih dan kekasih-Nya. Beliau telah menyampaikan (risalah), memberikan kabar gembira dan peringatan. Beliau telah meninggalkan kita di atas jalan yang putih bersih, malamnya seperti siangnya, tidaklah menyimpang darinya sepeninggal beliaushollallohu ‘alaihi wa sallam melainkan orang yang binasa. Maka sekali lagi, semoga Alloh memberikan sholawat dan salam kepada nabi kita Muhammad. Semoga Alloh memberikan sholawat kepada nabi kita Muhammad, setiap kali orang-orang bersholawat kepada beliau, dan setiap kali orang-orang yang lalai tidak bersholawat kepada beliau. Dan juga semoga Alloh memberikan sholawat dan salam kepada keluarga dan sahabat beliau serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya sampai hari kiamat.
Amma ba’du.
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Alloh dengan sebenar-benar takwa.
Wahai hamba-hamba Alloh, sesungguhnya Alloh Jalla Jalaaluhu telah memilih di antara apa yang Dia pilih, orang-orang yang sholih untuk bersahabat dengan Muhammad ‘alaihish sholaatu was salaam. Dia telah memilih mereka, sedangkan Dia Jalla wa ‘Alaa memilih apa yang Dia pilih karena keutamaan dari-Nya dan karena suatu hikmah.
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
“Dan Robbmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki, tidak ada pilihan bagi mereka.” [QS. Al-Qoshosh: 68]
Dan para sahabat rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah suatu madrosah yang agung, dimana orang-orang setelah mereka terdidik pada madrosah tersebut. Para tabi’in terdidik padanya, dimana mereka melihat perbuatan para sahabat, mengambil perkataan mereka dan saling mempelajarinya. Begitu pula para ulama yang sholih setelah mereka terdidik padanya, dimana mereka memperhatikan perkataan mereka (para sahabat), mereka menjadikannya sebagai pelajaran-pelajaran, mereka memperhatikan dan merenunginya. Dan bukanlah hal yang aneh jika keadaannya demikian, karena mereka adalah para sahabat yang telah Alloh ridhoi.
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Sungguh Alloh telah meridhoi kaum mukminin (yakni para sahabat), ketika mereka membaiatmu di bawah pohon.” [QS. Al-Fath: 18]
Di antara mereka (para sahabat) ada orang-orang muhajirin dan orang-orang anshor. Orang-orang anshor adalah mereka yang menjadi penolong bagi utusan Alloh Jalla wa ‘Alaa. Mereka menolong agama beliau tatkala orang-orang Quraisy dan kabilah-kabilah yang ada di sekitar Makkah meninggalkan beliau. Lalu mereka menyambut agama Alloh, menolongnya dengan lisan-lisan, perbuatan, pedang dan ruh-ruh mereka. Maka Alloh pun meridhoi mereka semua sebagai balasan atas apa yang telah mereka keluarkan, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan dan sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka sampaikan agama Alloh ini kepada umat ini dan seluruh manusia.
Dan di antara mereka ada seorang sahabat yang disifati oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagai hakiim (orang yang bijaksana) dari umat ini, dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam secara mursal (terputus sanadnya antara tabi’in dengan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam). Beliaushollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hakiim (orang yang bijaksana) di kalangan umat ini adalah Abu Darda.”
Abu Darda adalah seorang sahabat dari kaum Anshor dari suku Khozroj. Nama beliau adalah Umair bin Zaid bin Qois, dan ada yang mengatakan Uwaimir bin Amir. Beliau adalah seorang hamba yang sholih dan termasuk salah satu tokoh ahli qiro’ah. Di antara para sahabat, tidak ada yang menghafal al-Qur’an secara sempurna pada masa hidup Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kecuali beberapa orang saja, termasuk di antaranya adalah Abu Darda, semoga Alloh meridhoi beliau dan menjadikan beliau ridho.
Abu Darda masuk islam pada waktu perang badr di Madinah. Beliau mengikuti perang uhud dan berbagai peperangan lain setelahnya bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. Tatkala Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallammelihat keadaan beliau pada perang uhud dan bagaimana pembelaan beliau terhadap Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam ketika manusia bercerai berai, beliau berkata, “sebaik-baik penunggang kuda adalah Uwaimir.”
Abu Darda adalah bagaikan gudangnya hikmah dan ilmu, oleh karenanya Umar bin Khotthob rodhiyallohu ‘anhumengangkatnya sebagai qodhi (hakim yang memutuskan perkara) di negeri Damaskus.
Dan beliau rodhiyallohu ‘anhu wafat di negeri Damaskus pada masa pemerintahan Utsman rodhiyallohu ‘anhu.
Beliau juga memiliki para sahabat. Beliau memberikan nasehat kepada orang banyak dengan perkataan beliau sehingga orang-orang pun mendapatkan pengaruh. Beliau juga memberikan nasehat kepada mereka dengan perbuatan beliau, dengan perbuatan yang kokoh/tinggi. Maka di dalam memberikan nasehat dan petunjuk, beliau menggabungkan antara perkataan dan perbuatan, sehingga manusia pun mendapatkan pengaruh dengan perbuatan beliau juga dengan perkataan beliau.
Dan termasuk perkara yang selayaknya kita lakukan wahai kaum mukminin, kita memperhatikan perkataan-perkataan para sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam agar kita melihat bagaimana mereka menyampaikan agama islam ini kepada manusia setelah mereka dengan perkataan dan perbuatan, sehingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Dan segala kebaikan yang diharapkan ada pada manusia, maka hanya akan terwujud dengan melihat, memperhatikan keadaan para sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam,mempelajari perkataan-perkataan mereka dan memperhatikan amalan-amalan mereka. Karena dengan memperhatikan amalan-amalan mereka, akan menjadikan seseorang memiliki himmah (keinginan dan semangat) yang kuat di dalam mencari kebenaran, berjihad, bersungguh-sungguh dalam beramal dan dalam beramal. Dan dengan memperhatikan perkataan-perkataan mereka, seseorang akan berada pada madrosah dan pendidikan yang tidak akan didapati jika tidak menyambut mereka para sahabat rodhiyallohu ‘anhum, mempelajari dan merenungi perkataan-perkataan mereka.
Abu Darda rodhiyallohu ‘anhu adalah seorang yang memiliki hikmah yang menakjubkan dan mendalam. Oleh karena itu, Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma berkata kepada para sahabatnya, “Sampaikanlah kepada kami (berita) dari dua orang yang berakal.” Lalu mereka menjawab, “Wahai Ibnu Umar, siapakah dua orang yang berakal?” Ibnu Umar berkata, “Mu’adz dan Abu Darda.”
Mu’adz, kedudukannya dalam islam dan pengetahuannya tentang halal dan harom telah kalian ketahui.
Adapun Abu Darda, maka perkataan dan hadits-hadits beliau dalam masalah tarbiyah (pendidikan) dan perbaikan jiwa dan masyarakat banyak disebutkan dalam kitab-kitab para ulama. Dan kita akan mengambil sebagian di antaranya sehingga bisa menjadi petunjuk kita kepada yang lainnya, semoga kita bisa mengambil pelajaran darinya sebagaimana sahabat-sahabat beliau rodhiyallohu ‘anhu.
Sampaikanlah kepada kami (berita) dari dua orang yang berakal.
WASIAT PERTAMA
Abu Darda rodhiyallohu ‘anhu, diantara perkataannya, beliau berkata,
“Carilah ilmu! Jika kalian tidak mampu maka cintailah ahlul ilmi (ulama, orang yang memiliki ilmu), jika kalian tidak bisa mencintai mereka maka janganlah kalian membenci mereka.”
Ini adalah wasiat untuk umat ini seluruhnya. Karena hal yang paling mulia dalam umat ini adalah ilmu. Namun ilmu apa yang dimaksud?
Ilmu yang dimaksud adalah ilmu tentang Alloh Jalla Jalaaluhu, ilmu tentang kitab-Nya dan sunnah rosul-Nyashollallohu ‘alaihi wa sallam. Karena ilmu inilah yang nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk meminta tambahan. Alloh Jalla wa ‘Alaa berfirman kepada nabi-Nya,
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah, wahai Robbku tambahkanlah ilmu kepadaku.” [QS. Thoha: 114]
Para ulama mengatakan, Alloh tidak pernah memerintahkan nabi-Nya untuk meminta tambahan sesuatu kecuali ilmu. Sedangkan para ulama (ahlul ilmi) adalah orang-orang yang ditinggikan derajat mereka. Alloh berfirman,
يَرْفَع اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Alloh akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu, dengan beberapa derajat.” [QS. Al-Mujadilah: 11]
Oleh karenanya, Abu Darda berkata, “Carilah ilmu! Jika kalian tidak mampu…” karena manusia tidak berada pada batasan yang sama untuk menjadi penuntut ilmu dan orang-orang yang mendatanginya.
Jika kalian tidak mampu untuk menuntut ilmu, beliau berkata, “maka cintailah ulama.” Karena kecintaan terhadap ulama akan menjadikan orang yang mencintai bersama dengan orang yang dicintai, dan kecintaan tersebut akan menjadikan dia bertanya dan meneladani perkataan dan perbuatan mereka sehingga dia memiliki hubungan dengan mereka.
Jika kecintaan tersebut tidak terwujud, beliau berkata, “Jika kalian tidak bisa mencintai mereka maka janganlah kalian membenci mereka.” Karena membenci ulama berarti membenci orang-orang pilihan dari kaum mukminin, karena Alloh Jalla wa ‘Alaa telah memerintahkan kita untuk mencintai seluruh orang-orang yang beriman. AllohJalla wa ‘Alaa berfirman,
وَالمُؤْمِنُونَ وَالمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah wali (penolong) bagi sebagian yang lain.” [QS. At-Taubah: 71]
Maksudnya, bahwa sebagian mereka mencintai dan menolong yang lain. Sedangkan orang mukmin yang paling berhak dicintai adalah yang paling memiliki rasa khosy-yah (takut terhadap Alloh) dan yang paling berilmu. Oleh karena itu, Abu Darda berkata, “jika kalian tidak bisa mencintai mereka maka janganlah kalian membenci mereka.”
Dan kejahatan apakah yang engkau lakukan terhadap dirimu – wahai orang yang beriman – jika engkau membenci ahlul ilmi, serta apa yang dimaksud dengan membenci mereka?
Membenci mereka bisa berupa celaan terhadap mereka, kritikan terhadap mereka, atau dengan mencaci maki mereka baik dengan sesuatu yang benar maupun yang batil. Para ulama bukanlah orang-orang yang sempurna dan maksum (bebas dari kesalahan), namun jika engkau melihat kekurangan pada mereka lalu disebarkan kekurangan tersebut di tengah-tengah manusia, maka ini maknanya manusia tidak akan mengambil dari para ulama. Jika manusia sudah meninggalkan para ulama, tidak mau mengambil dari mereka, maka ini maknanya adalah kejahatan terhadap pengambilan syariat. Maka dari mana lagi manusia akan mengambil syariat, jika mereka tidak mengambilnya dari para ulama?!!
Untuk itulah wasiat dari Abu Darda Uwaimir bin Amir rodhiyallohu ‘anhu ini datang. Beliau berkata, “Carilah ilmu! Jika kalian tidak mampu maka cintailah ahlul ilmi (ulama, orang yang memiliki ilmu), jika kalian tidak bisa mencintai mereka maka janganlah kalian membenci mereka.” Agar tetap ada di dalam hati pengagungan terhadap para ulama yang hati-hati mereka dijaga oleh kitabulloh dan ilmu terhadap sunnah nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.
WASIAT KE DUA
Dan di antara perkataan Abu Darda, pada suatu hari beliau berkata kepada para sahabatnya,
“Sesungguhnya aku memerintahkan kalian dengan kebaikan. Dan tidak semua yang aku perintahkan kepada kalian telah aku lakukan, akan tetapi aku mengharapkan pahala dengan memerintahkan kalian.”
Ini merupakan pemahaman yang agung terhadap agama Alloh. Bukanlah karena dia memerintahkan sesuatu namun tidak melaksanakannya, yang hal ini dicela, namun seorang hamba yang beriman di dalam melaksanakan syariat
menggabungkan antara pelaksanaan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Sedangkan dia wajib memerintahkan kebaikan dan juga wajib melaksanakan kebaikan tersebut. Maka jika dia tidak mendapatkan (melaksanakan) salah satunya, dia tidak boleh meninggalkan yang lainnya.
Oleh karena itu Imam Malik bin Anas rohimahulloh, imam darul hijroh (madinah) mengatakan, “Tidaklah semua perkara yang kami perintahkan kepada kalian telah kami lakukan. Seandainya kami tidak memerintahkan (kebaikan) karena kami tidak melakukannya, niscaya kami tidak memerintahkan kepada kalian kecuali sedikit saja.”
Apakah maknanya bahwa mereka meninggalkan (tidak melaksanakan) perintah dan terjerumus kepada perkara yang harom? Tidak, akan tetapi para ulama dan ahlul jihaad memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum sehingga mereka bisa mengurutkan maslahat-maslahat dan menjadikan kebaikan bertingkat-tingkat. Dan tidak selalu demikian setiap orang yang memerintahkan kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah keburukan (nahi mungkar).
Oleh karena itu, Abu Darda berkata, “Sesungguhnya aku memerintahkan kalian dengan kebaikan. Dan tidak semua yang aku perintahkan kepada kalian telah aku lakukan, akan tetapi aku mengharapkan pahala dengan memerintahkan kalian.” Yakni, bahwa beliau memerintahkan perkara-perkara yang mustahab (mandub, sunnah, disukai, tidak wajib). Beliau memerintahkan berbagai kebaikan-kebaikan yang beliau lakukan, namun tidak semua yang beliau perintahkan beliau lakukan, karena beliau telah tersibukkan diri darinya dengan perkara yang lebih penting baginya. Adapun bagi orang lain, maka keadaannya berbeda, bahkan mereka harus diberi perintah dengan hal tersebut. Jika datang kesempatan, sedangkan dia memiliki waktu luang, maka dia dianjurkan kepada perkara yang mustahab dan yang wajib sesuai dengan tingkatan-tingkatannya. Sebagaimana Alloh Jalla wa ‘Alaaberfirman,
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ (7) وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
“Dan jika engkau telah selesai (dari suatu pekerjaan yang baik) maka lakukanlah yang lainnya. Dan hanya kepada Robbmu-lah hendaknya engkau berharap.” [QS. Asy-Syarh: 7-8]
Yakni dengan berbagai macam perkara yang wajib dan mustahab.
Sebagian orang tidak memperhatikan pernyataan tersebut dan kaidah syar’i ini. Jika dia berada pada suatu kesalahan dia mengatakan, “Aku tidak memerintahkan kebaikan karena aku tidak melaksanakannya. Dan aku tidak melarang perbuatan buruk karena mungkin aku melakukannya.” Ini adalah suatu kesalahan terhadap syariat ini. Karena engkau wajib memerintahkan kebaikan dan juga wajib melaksankannya. Jika engkau tidak melaksanakan kebaikan maka janganlah engkau meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, engkau wajib melakukan hal ini. Jika engkau meninggalkan yang satu, maka yang satu ini adalah kewajiban, dan yang lain juga wajib. Jika engkau meninggalkan salah satu dari dua kewajiban, maka engkau tidak boleh meninggalkan yang satunya.
WASIAT KE TIGA
Dan di antara perkataan Abu Darda rodhiyallohu ‘anhu, suatu ketika beliau berkata kepada para sahabatnya,
“Berlindunglah kalian kepada Alloh dari kekhusyu’an nifaq.” Mereka bertanya, Wahai Abu Darda, apa yang dimaksud kekhusyu’an nifaq? Beliau menjawab, “Jasad terlihat khusyu’ namun hatinya tidak khusyu’.”
Dan telah shohih dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
« أَوَّلُ مَا يُسْلَبُ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ الْخُشُوعُ »
“Yang dicabut pertama kali dari umat ini adalah kekhusyu’an.” [Riwayat Ath-Thobroni, dishohihkan Al-Albani dalam Shohih Al-Jami’ush Shoghir nomor: 2569]
Maka engkau melihat orang-orang sholat di masjid, namun hampir-hampir tidak engkau dapati seorang pun yang khusyu’ di antara mereka. Berlindunglah kepada Alloh dari kekhusyu’an nifaq, jasad terlihat khusyu’ dan tenang ketika di dalam sholat, namun hati tidak khusyu’. Ini adalah keadaan orang-orang munafiq, karena mereka sholat bersama kaum muslimin akan tetapi hati mereka tidak khusyu’ kepada Alloh, bahkan mereka riya kepada manusia dan tidak mengingat Alloh kecuali sedikit saja.
Kenapa Abu Darda rodhiyallohu ‘anhu berkata “Berlindunglah kalian kepada Alloh dari kekhusyu’an nifaq”? Hal itu karena beliau hendak menanamkan dalam hati-hati kita agar kita tidak akan menerima dan tidak akan meridhoi hal tersebut. Betapa banyak orang yang tidak mendapati kekhusyu’an dalam hatinya, kekhusyu’an mereka hanya pada badan saja, dan dia mengetahui bahwa hatinya mengajaknya kepada berbagai macam perbuatan dosa besar dan kemungkaran, juga mengajaknya untuk meninggalkan berbagai macam kewajiban. Kemudian Abu Darda berkata kepadanya, berlindunglah kalian kepada Alloh dari kekhusyu’an nifaq. Yakni, jika engkau dalam keadaan seperti ini maka jangan sampai engkau meridhoi dirimu berada dalam keadaan seperti ini, bahkan berlindunglah engkau kepada Alloh, menghadaplah kepada-Nya, berpegang teguhlah kepada-Nya, carilah kelezatan dengan (kekhusyu’an kepada) Nya dan menghadaplah kepada-Nya, agar Dia menghilangkan kekhusyu’an nifaq yang ada dalam hatimu yang pada hakikatnya hati tidaklah khusyu’.
Engkau melihat manusia melakukan sholat, namun yang khusyu’ di antara mereka hanyalah sedikit. Para sahabat rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan ibadah-ibadah yang barangkali orang-orang setelah mereka lebih banyak melakukannya. Akan tetapi mereka (para sahabat) beribadah dengan hati-hati yang khusyu’.
Oleh karena itu ketika Al-Hasan al-Bashri rohimahulloh ditanya, ‘Mereka para tabi’in, ibadah mereka lebih banyak dibandingkan para sahabat rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, kenapa para sahabat memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari mereka?’ Al-Hasan menjawab, “Dahulu para sahabat melakukan ibadah sedangkan akhirat ada dalam hati-hati mereka. Adapun mereka (para tabi’in), maka mereka beribadah sedangkan dunia ada dalam hati-hati mereka. Maka sangat berbeda antara ini dan itu. Oleh karena itu Abu Darda berkata, Alangkah bagus tidur dan berbukanya orang-orang yang cerdas. Bagaimana mungkin mereka tertipu dengan begadang dan puasanya orang-orang yang dungu. Sungguh, kebaikan sekecil biji sawi yang disertai ketakwaan dan keyakinan lebih agung dan lebih tinggi di sisi Alloh dari pada ibadah sebesar gunung yang dilakukan oleh orang-orang yang tertipu.’”
Maksudnya adalah kekhusyu’an hati. Dan kekhusyu’an hati maknanya adalah ketenangan, ketundukan dan menghadapnya hati kepada Alloh Jalla wa ‘Alaa.
Maka marilah kita berlindung kepada Alloh dari kekhusyu’an nifaq. Wahai Alloh, kami berlindung kepada-Mu dari kekhusyu’an orang-orang munafiq. Wahai Alloh Yang maha mulia, jadikanlah kekhusyu’an kami adalah kekhusyu’an orang-orang yang beriman secara lahir dan batin.
WASIAT KE EMPAT
Di antara perkataan Abu Darda rodhiyallohu ‘anhu, suatu ketika beliau melewati seseorang yang telah berbuat dosa dan disekitarnya orang-orang mencelanya. Maka Abu Darda yang mengetahui bagaimana mengobati jauhnya seseorang dari agama, bagaimana mengobati orang yang bermaksiat dan bagaimana mengobati hati yang sakit, beliau berkata kepada mereka (orang-orang yang mencela),
“Bagaimana menurut kalian, jika kalian mendapati dia berada di dalam jurang yang sangat dalam, apakah kalian akan menyelamatkannya?” Mereka menjawab, ‘Tentu!’. Lalu beliau berkata, “Maka pujilah Alloh yang telah menyelamatkan kalian, namun janganlah kalian mencela saudara kalian.”
“Pujilah Alloh yang telah menyelamatkan kalian, namun janganlah kalian mencela saudara kalian.” Lihatlah perumpamaan yang beliau sampaikan, bahwa orang-orang yang beriman jika mendapati seseorang telah melakukan suatu dosa, maka mereka tidak meninggalkannya. Beliau memberikan perumpamaan seperti seorang yang berada di dalam jurang, di dalam jurang yang dalam dan tidak mendapati seorang penyelamat pun. Lalu apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang beriman terhadap saudara mereka yang terjerumus ke dalam perkara yang membinasakan? Apakah mereka akan mencelanya dan mengatakan, kenapa kamu masuk ke dalam jurang ini? Kenapa kamu menyebabkan dirimu seperti ini, dan seterusnya? Tidak, bahkan orang-orang yang beriman akan berusaha menolongnya dan bersungguh-sungguh untuk menolongnya.
Jika demikian, maka perkara negativ (perkara yang buruk) itulah yang dicela. Hanya saja celaan terhadap pelaku kemaksiatan tidak dibolehkan oleh syariat, akan tetapi kita memintakan hidayah kepada Alloh untuk saudara-saudara kita dan kita memuji Alloh yang telah menyelamatkan kita. Kemudian, kita berusaha untuk menyelamatkan mereka dari keburukan dosa dan maksiat, karena mereka tidaklah berbuat dosa melainkan karena menjadi mangsa makarnya iblis, musuh Alloh dan musuh kita.
Maka wasiat ini wahai kaum mukminin, adalah wasiat yang agung. Jika engkau melihat seseorang terjerumus dalam maksiat, maka engkau harus mengerahkan tali (pertolongan) untuknya. Wahai saudara-saudara sekalian, jika kita memperhatikan zaman kita sekarang ini, kita mendapati bahwa kebanyakan manusia ketika mendengar orang lain melakukan maksiat, engkau akan melihatnya mengatakan orang ini telah melakukan ini dan itu, dia pergi bersafar dan melakukan ini dan itu, keluarga ini seperti ini dan itu, engkau melihatnya mengkritik dan mencela dengan keras, bahkan mungkin mengolok-oloknya, semoga Alloh melindungi kita. Jika engkau bertanya kepadanya, apa yang telah engkau lakukan untuk saudaramu dengan meninggalkannya bersama dosa-dosa ini? Dia akan menjawab, aku belum melakukan sesuatupun.
Jika demikian, berarti ini juga termasuk salah satu dari wasilah syaithon (untuk menyesatkan manusia). Karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ أَهْلَكَهُمْ
“Jika seseorang berkata (untuk mencela dan merendahkan), ‘manusia telah binasa’, maka dia berarti membinasakan mereka.” [HR. Muslim dan Malik]
Yakni, dia dengan keadaannya (meninggalkan dan mencela pelaku kemaksiatan-pen) itu menjadi sebab binasanya mereka (pelaku kemaksiatan-pen). Dan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang kita menyampaikan segala sesuatu yang kita dengar. Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ» أَوْ قَالَ «أَحَدُ الْكَاذِبِيْنَ»
“Barangsiapa menyampaikan segala sesuatu yang dia dengar, berarti dia adalah salah satu dari dua pendusta.” Atau beliau bersabda, “salah satu dari para pendusta.” [Demikian hadits yang disampaikan oleh Syaikh, adapun lafadz dalam riwayat Muslim adalah, ‘Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika dia menyampaikan segala sesuatu yang dia dengar.’ Wallohu a’lam –pen]
Maka kita harus berusaha untuk memperbaiki kesalahan, menasihati orang yang berbuat dosa, menyembunyikan dosa-dosa (tidak menyebarkannya-pen) dan menyebarluaskan kebaikan-kebaikan. Jika kita melihat seseorang melakukan kebaikan, hendaknya kita mengatakan, ‘dia telah melakukan kebaikan ini dan itu.’ Maka dengan demikian kebaikan akan tersebar dan orang-orang akan saling meneladani dalam hal kebaikan. Adapun jika kita menyebarkan keburukan, maka orang-orang akan menganggapnya enteng. Misalnya, seseorang mengatakan, fulan telah melakukan maksiat ini, sedangkan dia telah melakukan ini dan dia telah melakukan ini. Maka orang akan menyangka bahwa keburukan lebih banyak dari pada kebaikan, sehingga dia pun menganggap enteng suatu keburukan dan akhirnya melakukannya.
Weni RamadhaniSemoga Alloh merahmati dan meridhoi Abu Darda, memberi balasan kepada beliau dengan balasan yang baik dari sahabat-sahabatnya dan umat setelahnya.
الحمد لله رب العالمين
Sumber: Albamalanjy.wordpress.com dan dipublikasikan ulang oleh: ibnuabbaskendari.wordpress.com